TEMPO.CO, Jakarta -Suatu hari di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Seorang pria paruh baya meneriakinya. "Pak dokter, pak dokter." Seketika Joserizal Jurnalis menoleh dan kaget melihat orang tersebut. Pria itu kemudian menyalaminya memakai tangan kanan. Tangan kirinya buntung sebatas bahu. "Saya Dominingus dokter," kata pria itu.
Agak bingung, Joserizal akhirnya engeh bahwa Dominingus adalah korban konflik Ambon 1999. Dia yang mengamputasi tangannya dengan gergaji kayu, diterangi lampu senter, dan menggunakan madu sebagai antibiotik. Dominingus terkena sabetan parang. "Konflik itu (Ambon) membuat saya takut suara ketukan tiang listrik," ujar Joserizal.
Suara ketukan itu ia dengarnya di Galela, Ambon, ketika menjadi tenaga medis di sana. Ketika itu dentang tiang listrik layaknya alarm tanda bahaya, memberitahukan ada “musuh” datang. Masih ingat dibenaknya ia terkepung selama sebulan dan dihantui serangan ribuan orang yang mabuk dan membawa parang. "Mereka menyembelih orang dan memakan jantungnya," ujar Joserizal mengenang.
Peristiwa Maluku itu pemicu berdirinya MER-C (Medical Emergency Rescue Committe) di tahun 1999. Saat itu tidak ada satu lembaga internasional pun yang mau terlibat. Sehingga ia berinisiatif mendirikan MER-C--yang merupakan lembaga swadaya masyarakat di bidang kegawatdaruratan medis. Menurut Joserizal, MER-C berasaskan Islam, tapi ia menjamin tidak membedakan korban yang harus ditolong.
Sudah 15 tahun Spesialis Bedah Umum Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ini melakukan pertolongan medis di beberapa wilayah konflik. Di antaranya Maluku, Mindanao, Aceh, Poso, Afghanistan, Sudan, Irak, dan Gaza Palestina. Pengalaman di Gaza merupakan kisah paling mengharukannya. Ia merasakan dentuman bom dan dihadang tentara Israel saat membawa bala bantuan pada 2009.
Ia masuk Gaza ketika kota seluas 48 kilo meter persegi itu dalam keadaan terkepung. Tank Israel berada di semua lini. Tapi anehnya, kata dia, tentara tidak bisa masuk kota Gaza. Karena setiap tank mendekat, pejuang Palestina melemparkan elpiji ke kepala tank itu di malam hari. "Itu membuat Israel terpukul mundur," ujarnya.
Kini, Joserizal amat berharap Rumah Sakit Indonesia yang digagas MER-C sejak 2008 bisa beroperasi. Apalagi di tengah situasi runyam yang saat ini tengah dihadapi warga Gaza. Sebanyak 170 (sekarang sudah 800-an) orang tewas akibat serangan militer Israel. Akibat situasi itu juga suplier peralatan medis di Palestina tutup sehingga cukup sulit memfungsikan rumah sakit itu.
Heru Triyono dan fotografer Dhemas Reviyanto Atmodjo dari Tempo duduk lesehan sambil berbincang dengannya di ruang tamu rumahnya di Jalan Masjid Silaturahmi Nomor 14 Cibubur, Jakarta Timur, Selasa lalu. Disajikan sirup apel dan kue black forest, Joserizal berbicara panjang lebar mengenai wilayah konflik yang sudah dua kali ia kunjungi itu.
***
Berikut wawancaranya....