TEMPO.CO, Jakarta - Ongkos angkutan umum di Cirebon, Jawa Barat, naik hingga dua kali lipat setelah dibatasinya waktu penjualan solar. Tarif angkutan dari Terminal Harjamukti-Ciledug di Kabupaten Cirebon naik menjadi Rp 12 ribu per orang. "Sebelumnya, tarif hanya Rp 6 ribu," kata Ujang, sopir bus. (Baca juga: Tips Beli Solar Bersubsidi dari Jero Wacik)
Kenaikan tarif juga berlaku untuk bus jurusan Cirebon-Kadipaten di Kabupaten Majalengka. Menurut sopir bus, Jarot, saat ini ongkos naik menjadi Rp 30 ribu per orang. "Biasanya memang hanya Rp 15 ribu," ujarnya. (Baca juga: Organda Solo Tuntut Kenaikan Tarif Bus)
Keputusan menaikkan tarif dilakukan secara sepihak oleh para sopir bus. Menurut Jarot, hingga kini belum ada keputusan apa pun dari pemerintah dan Organisasi Angkutan Darat terkait dengan kenaikan tarif tersebut. "Dari pada kami rugi, lebih baik dinaikkan dulu tarifnya," tuturnya kepada Tempo, Selasa, 5 Agustus 2014. (Baca juga: Angkutan Umum Kesulitan Cari Solar di Trayeknya)
Ujang juga mengeluhkan dibatasinya waktu penjualan solar menjadi malam hari oleh pemerintah. Sebab, bus lebih banyak beroperasi pada siang hari. "Masak kalau solar habis di jalan pada siang hari kami harus mendorong," katanya. (Baca juga: Hanya 548 SPBU Jual Solar Berbatas Waktu)
Sekretaris Organda Cirebon Karsono meminta pemerintah memberi subsidi kepada angkutan umum. "Kebijakan ini semestinya tak berlaku untuk angkutan umum yang melayani masyarakat ekonomi menengah ke bawah," ujarnya.
Mulai 1 Agustus 2014, pemerintah menerapkan kebijakan pelarangan penjualan solar bersubsidi di SPBU Jakarta Pusat. Kebijakan ini menyusul keputusan pemerintah untuk memangkas kuota BBM subsidi menjadi 46 juta kiloliter dari sebelumnya 48 juta kiloliter.
Kemudian, pada 4 Agustus, kebijakan pengendalian BBM subsidi dilanjutkan dengan mengatur waktu penjualan pada pukul 08.00-18.00 waktu setempat di Sumatera, Kalimantan, Jawa, dan Bali. Namun pengaturan waktu penjualan hanya dilakukan di sejumlah SPBU, di cluster-cluster yang dekat dengan industri pertambangan, perkebunan, dan kehutanan.
Pada 6 Agustus, pemerintah menetapkan pelarangan penjualan Premium subsidi di rest area di jalan tol. Juga, pelarangan solar subsidi bagi kapal nelayan di atas 30 gross ton.
Meski demikian, pemerintah memastikan kebijakan pengendalian bahan bakar minyak bersubsidi tak akan berdampak signifikan pada kegiatan masyarakat dan industri. Sebab, dari total 4.570 SPBU di Sumatera, Kalimantan, Jawa, dan Bali, hanya 12 persen yang diatur waktu penjualannya pada pukul 08.00-18.00.
"Pembatasan penjualan solar bersubsidi tidak di semua wilayah, sehingga tidak mengganggu operasional barang dan jasa," kata Direktur Pemasaran dan Niaga PT Pertamina Hanung Budya di kantor Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Selasa, 5 Agustus 2014.
Menurut Hanung, berdasarkan surat edaran Kepala Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi mengenai Pengendalian BBM Subsidi, sejak 4 Agustus, penjualan solar telah diatur berdasarkan waktu. Cakupan wilayahnya pun hanya yang dekat dengan industri pertambangan, perkebunan, kehutanan, dan daerah yang rawan bocor, seperti Sumatera, Kalimantan, Jawa, dan Bali.
Hanung menambahkan, meski ada upaya pengendalian agar kuota BBM subsidi tak melebihi target dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2014, tak semua wilayah terkena kewajiban penerapan. Ia mencontohkan, di jalur logistik utama sama sekali tidak ada pengurangan jam operasional. Meski demikian, Hanung mengakui bahwa kebijakan pengendalian ini juga rawan pelanggaran.
IVANSYAH | AYU PRIMA SANDI
Berita Terpopuler
Migrasi Golkar Tinggalkan Ical Tunggu Putusan MK
Foto dengan Bendera ISIS, Baasyir Akan Dihukum
Polisi Tolak Laporan Fadli Zon Soal Ketua KPU
Cemburu, Wanita Ini Potong Payudara Rivalnya