TEMPO.CO, Jakarta - Indonesia Corruption Watch meminta penggunaan sistem ranking untuk menyeleksi pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi. Cara itu layak ditempuh untuk menghindari unsur subyektifitas. "Jangan suka-suka," ujar aktivis ICW, Tama S. Langkun, kepada Tempo, Kamis 7 Agustus 2014.
Tama menjelaskan, sistem peringkat acap dihindari saat nama-nama yang disetor panitia seleksi dibahas Dewan Perwakilan Rakyat. Padahal, sistem itu dapat menunjukkan kualitas seorang calon baik dari sisi, integritas, rekam jejak, maupun kecakapan dalam menangani kasus korupsi.
Menurut pengalaman, kata Tama, dalam menyeleksi pimpinan KPK, DPR lebih memilih pendekatan akseptabilitas. Pendekatan ini dilakukan dengan mengukur kualitas kandidat pimpinan KPK menurut tingkat penerimaannya di mata anggota Dewan. "Tak jelas ukurannya," katanya.
Seleksi calon pimpinan KPK kembali digelar setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan keputusan pembentukan panitia seleksi. Keputusan itu diambil mengingat masa jabatan Busyro Muqoddas berakhir pada Desember 2014.
Tama berharap kandidat pengganti Busyo nantinya tak lagi berlatar belakang hukum. Orang-orang yang menguasai pengetahuan seputar transaksi perbankan, kasus pencucian uang, dan kejahatan korporasi juga perlu diberi ruang. "Tantangan kasus korupsi makin beragam," katanya.
RIKY FERDIANTO
Topik terhangat:
Arus Mudik 2014 | MH17 | Pemilu 2014 | Ramadan 2014 | Ancaman ISIS
Berita terpopuler lainnya:
Ini Rapor Kepala Dinas Pendidikan DKI Lasro Marbun
Migrant Care Laporkan Enam Anggota DPR Pemilik PJTKI
Kisah Pocong di Foto Syahrini Saat Umrah