TEMPO.CO, Jakarta - Reso Sentono duduk di amben bambu. Tiap hari, perempuan renta berusia sekitar 80 tahun itu bisa duduk dari matahari terbit hingga tenggelam. Sebuah kotak kayu berisi sirih, gulungan rajangan tembakau, kapur, dan pinang diletakkan di samping kirinya. Di sebelah wadah itu, ada stoples bekas untuk membuang ludah. "Pahit," katanya menjelaskan rasa menginang kepada Tempo, Rabu sore, 6 Agustus 2014.
Mbah Reso, demikian ia biasa disapa, adalah seorang penenun lurik tradisional. Ia tinggal di Dukuh Nglengkong, Desa Nanggulan, Kecamatan Cawas, Klaten, Jawa Tengah. Meski pahit, agaknya kinang itulah teman setianya menenun lurik secara manual. "Dulu banyak yang menenun dengan cara itu, tapi sekarang tinggal saya sendiri," katanya dalam bahasa Jawa.
Berbekal por, demikian ia menyebut sebatang kayu sepanjang 1,5 meter yang dikaitkan di pinggang, apit--kayu penjepit deretan benang, serta blabak--kayu berisi gulungan benang, Mbah Reso membuat lurik. Semua alat itu ditempatkan di atas amben di teras rumahnya yang berlantai tanah.
Salah satu yang unik dari alat produksi tenun ini adalah sisir benang. Sementara sisir penenun pada alat tenun bukan mesin biasa terbuat dari kawat, sisir tenun yang digunakan Mbah Reso terbuat dari rautan bilah bambu. "Kalau rusak, di pasar ada yang jual," katanya tentang sisir tenunnya. Adapun por, apit, dan blabak yang kini dipakainya, ia melanjutkan, adalah peninggalan orang tuanya. (Baca juga: Batik Centil)