TEMPO.CO, Jakarta - Majelis hakim konstitusi mempertanyakan alasan Komisi Pemilihan Umum menetapkan 22 Juli 2014 sebagai hari penetapan hasil pemilu presiden dan wakil presiden 2014. Padahal, menurut undang-undang, penetapan hasil pemilu presiden paling lambat dilakukan 30 hari setelah hari pencoblosan.
"Sesuai undang-undang, bisa 30 hari, namun KPU memutuskan untuk 14 hari saja? Mengapa?" tanya anggota majelis hakim konstitusi, Patrialis Akbar, di ruang sidang pleno Mahkamah Konstitusi, Selasa, 12 Agustus 2014.
Ketua majelis hakim, Hamdan Zoelva, menambahkan, apakah perubahan yang dilakukan KPU mengubah norma baru. "Dijawabnya nanti saja karena berat ini," katanya. (Baca: Saksi Kubu Prabowo dari Papua Kocok Perut Hakim MK)
Anggota KPU, Arief Budiman, meyakini pihaknya tidak melanggar ataupun menciptakan norma baru dalam menentukan jadwal tahapan pemilu presiden."Dalam pandangan kami, ini bukan norma baru karena UU mengatakan paling lama 30 hari. Artinya, kalau kami menetapkan 29 hari, 15 hari, atau 14 hari itu bukan norma baru," ujar Arief.
Lebih lanjut, Arief mengatakan, pihaknya menetapkan waktu rekapitulasi hanya 14 hari karena mempertimbangkan waktu pelantikan presiden terpilih, yakni 20 Oktober mendatang. "Waktu itu kami mempertimbangkan putaran kedua dan sengketa di MK. Tanggal 22 itu yang paling cocok," ujar Arief. (Baca: 25 Saksi Prabowo-Hatta Ikuti Sidang MK)
Komisioner KPU lain, Ida Budhiati, mengaku sudah berkonsultasi dengan pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat, dan peserta pemilu saat aturan ini dibuat pada Desember lalu. "Waktu itu tak ada keberatan terkait dengan sekuen waktu," ujarnya.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Titi Anggraeni mengatakan ada dua alasan kenapa KPU tidak melanggar peraturan. Pertama, undang-undang mengatakan pengumuman hasil rekapitulasi dilakukan paling lambat 30 hari setelah pemungutan suara. Kedua, sesungguhnya keberatan bisa disampaikan dari jauh-jauh hari saat rekapitulasi masih berlangsung di tingkat yang lebih rendah. "Kalau tanggal 19 (Juli 2014) itu kan sudah ketahuan peta suaranya," kata Titi. (Baca: Pendukung Prabowo Mulai Mengepung MK Lagi)
Apalagi, menurut Titi, KPU sudah berkonsultasi dengan pemerintah, DPR, dan peserta pemilu sebelum aturan ini dibuat. "Jadi sulit kalau kita menyalahkan KPU hanya karena KPU membuat peraturan rekap yang tidak menyalahi juga," katanya.
Saksi dari tim Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dalam sidang sengketa perselisihan hasil pemilu presiden, Azis Subekti, mengatakan pihaknya telah memberikan surat untuk meminta penundaan penetapan hasil pemilu presiden pada 19 Juli lalu. Soalnya, menurut Azis, banyak rekomendasi Badan Pengawas Pemilu yang belum dijalankan.
TIKA PRIMANDARI
Berita Terpopuler:
Rini Soemarno Bicara soal Hubungan dengan Megawati
Penyebab Hilangnya Suara Jokowi-Kalla Belum Jelas
Lima Pemain MU Ditendang, Kagawa Aman
Benarkah Megawati Ikut Memilih Tim Transisi?
5 Hal Kontroversial tentang Syahrini
SBY, Orang Paling Tepat Bantu Transisi Jokowi