TEMPO.CO, Tegal - Nelayan di Kota Tegal, Jawa Tengah, mengancam akan menggelar demonstrasi jika pemerintah tidak segera mencabut aturan pengurangan kuota solar bersubsidi bagi nelayan sebesar 20 persen. “Kami beri waktu sampai akhir Agustus untuk pemerintah mengkaji ulang surat edaran (SE) BPH Migas tentang pengurangan kuota solar nelayan itu,” kata Ketua Paguyuban Nelayan Kota Tegal (PNKT) Eko Susanto, Jumat, 15 Agustus 2014.
Dia menegaskan, jika aksi di Kota Tegal tidak direspons, PNKT akan berkoordinasi dengan semua nelayan di wilayah Pantai Utara (Pantura) Jawa untuk menggelar aksi yang lebih besar di Jakarta.
Ancaman itu bukan gertak sambal. Awal Februari lalu, ratusan nelayan dari Tegal dan dari daerah lain berdemo di depan Istana Merdeka. Saat itu, para nelayan menolak pencabutan subsidi solar bagi kapal nelayan berukuran 30 gross ton (GT).
Kamis lalu, PNKT telah mengirim surat ke Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Badan Pengaturan Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas), dan Pertamina. Selain menolak SE BPH Migas tentang pengurangan kuota solar bersubsidi bagi nelayan, surat itu juga meminta pemerintah mengkaji ulang SE yang menyebabkan nelayan harus menganggur lama demi mengantre jatah solar.
Sejak pengurangan kuota solar bersubsidi bagi nelayan diberlakukan, Eko berujar, hanya 60 dari 600 kapal di Pelabuhan Perikanan Pantai Tegalsari (PPPT) Kota Tegal yang bisa melaut. Sedangkan 540 kapal sisanya masih menunggu giliran mendapat jatah solar. “Antre solar di SPBN (stasiun pengisian bahan bakar nelayan) Karya Mina sudah sangat panjang, sampai 200 kapal,” ujar Eko. Bahkan, sebelum aturan pengurangan kuota diberlakukan, dalam sepekan hanya enam kapal di PPPT Tegalsari yang mendapat jatah solar.
PNKT juga mempermasalahkan pernyataan Dinas ESDM Jawa Tengah ihwal larangan kapal di atas 30 GT menggunakan solar bersubsidi. “Dengan solar bersubsidi, modal sekali melaut mencapai Rp 280 juta. Kalau tidak menggunakan solar bersubsidi, bisa naik dua kali lipat,” kata Eko. Menurut Bendahara Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kota Tegal, Tasman, anak buah kapal (ABK) paling merasakan dampak pengurangan kuota solar bersubsidi. “Selama dua bulan melaut, mereka hanya dapat uang sekitar Rp 4-5 juta,” katanya.
Akibat pembatasan kuota solar bersubsidi, Tarman berujar, ABK menganggur selama sebulan menunggu kapalnya dapat solar. “Jadi penghasilan Rp 4 juta itu harus dihemat sampai bisa melaut lagi,” kata Tasman.
DINDA LEO LISTY
Topik terhangat:
ISIS | Pemerasan TKI | Sengketa Pilpres | Pembatasan BBM Subsidi
Berita terpopuler lainnya:
Ketua Gerindra Laporkan Metro TV, Detik, dan Tempo
Jokowi: Wajar Ada Beda Pendapat Soal Hendropriyono
Rumah Novela Dirusak karena Apa?