TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Anggaran Independen (KAI) dan Yayasan Tifa menilai Nota Keuangan Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara 2015 belum memadai untuk mengakomodasi visi-misi presiden dan wakil presiden terpilih, Joko Widodo dan Jusuf Kalla. RAPBN 2015 itu justru dianggap mewariskan ruang fiskal yang sempit bagi pemerintah yang akan datang.
"Pemerintah mendatang ditinggalkan untuk menanggung beban politik merasionalisasi kebijakan fiskal guna mewujudkan prioritas program kerjanya," tulis KAI dan Yayasan Tifa dalam siaran pers, Sabtu, 16 Agustus 2014.
Pada sektor belanja, RAPBN 2015 tak merancang penurunan anggaran subsidi, terutama subsidi energi. Anggaran belanja subsidi BBM dalam RAPBN 2015 dialokasikan sebesar Rp 433,5 triliun, sementara subsidi energi mencapai Rp 363,5 triliun. (Baca:2015, Pendapatan Negara Ditargetkan Rp 1.762, 3 T)
Sementara itu, jika dilihat dari sisi pendapatan, pengamat perpajakan Justinus Prastowo menilai pemerintahan Jokowi-JK dipaksa menyesuaikan target jangka pendek program kerja mereka dengan RAPBN 2015. Kendati Jokowi-JK masih bisa mengubah APBN dalam APBNP, kata Justinus, perubahan itu disebut tak akan berdampak signifikan. "Tetap saja perubahannya tak bisa banyak," kata Justinus seusai konferensi pers KAI dan Yayasan Tifa di Restoran Pulau Dua, Senayan, Jakarta, Sabtu, 16 Agustus 2014.
Dalam hal pajak, Komisi Anggaran Independen merekomendasikan adanya pemisahan dua lapis kelompok pembayar pajak antara si kaya (35 persen) dan super kaya (40 persen). (Baca:'Presiden Nanti Harus Punya Menko yang Kuat' )
KHAIRUL ANAM
Terpopuler:
Jokowi Mungkin Bikin 27 Kementerian
Jadi Ahli untuk Prabowo, Jokowi Telepon Yusril
Massa Prabowo Samakan KPU dengan PKI
2015, Gaji PNS, Polisi, dan TNI Naik 6 Persen
Marzuki Alie Pingsan di Sidang Pidato SBY