TEMPO.CO, Pangkalpinang - Jumlah penderita HIV/AIDS di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung tercatat sudah mencapai 500 orang. Hal ini membuat Wakil Gubernur Bangka Belitung Hidayat Arsani prihatin.
Menurut Hidayat, sebagai provinsi yang tergolong baru, dengan penduduk 1,2 juta jiwa maka jumlah penderita HIV/AIDS yang sudah mencapai 500 orang sungguh mengkhawatirkan.
“Untuk mencegah meningkatnya jumlah penderita HIV/AIDS, kami minta peran tokoh masyarakat dan tokoh agama ditingkatkan dalam memberikan pemahaman kepada masyarakat," kata Hidayat dalam acara semiloka penanggulangan HIV/AIDS bagi pemuka agama di Gran Mutiara Hotel Pangkalpinang, Selasa, 19 Agustus 2014.
Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, kata Hidayat, juga akan bekerja sama dengan otoritas pelabuhan laut dan bandara. Setiap pendatang yang masuk ke Bangka Belitung, termasuk warga negara asing, harus dicek kesehatannya.
"Sebagai daerah pertambangan, Bangka Belitung menjadi magnet bagi masyarakat luar daerah maupun asing,” ujar Hidayat.
Hidayat menduga banyak di antara pendatang yang kondisinya sudah terjangkit HIV/AIDS di daerah asalnya. Pada saat berada di Bangka Belitung, penyakit yang diderita para pendatang menyebar ke masyarakat lainnya.
Menurut Hidayat, Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung akan meningkatkan anggaran penanggulangan HIV/AIDS sebelum jumlah penderita terus meningkat.
“Kami harus mengambil kebijakan yang berani. Ini menyangkut nyawa manusia. Seiring peningkatan insfrastruktur, maka program pemberdayaan masyarakat juga perlu diperhatikan," ucap Hidayat.
Asisten Deputi Kelembagaan Komisi Penanggulangan AIDS Nasional Haliq Siddiq mengatakan pengetahuan masyarakat Bangka Belitung tentang bahaya HIV/AIDS masih sangat rendah, yakni menduduki peringkat empat terbawah secara nasional.
"Kalau dilihat dari angka penderita memang belum tinggi. Akan tetapi, pemahaman masyarakat sangat rendah sekali. Kalau dibiarkan, ini akan berpotensi menaikkan jumlah penderita," tutur Haliq.
Haliq mengatakan kemajuan teknologi informasi telah membuat transaksi seks di Indonesia meningkat. Sebab, transaksi seks tidak lagi dilakukan di lokalisasi. Media sosial atau perangkat komunikasi lainnya sudah menjadi tren. “Kami sudah melakukan berbagai kegiatan sosialisasi di sekolah, konseling pernikahan, dan kegiatan lainnya," kata Haliq.
SERVIO MARANDA
Terpopuler