TEMPO.CO, Mojokerto - Kalangan dokter kurang setuju dengan legalisasi aborsi untuk korban pemerkosaan, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi. “Kecuali, kasus kehamilan akibat pemerkosaan yang dilakukan oleh keluarga sedarah masih ada tempat untuk diaborsi,” kata Ketua Perhimpunan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) Komisariat Mojokerto M. Nuruddin Akbar, Selasa, 19 Agustus 2014.
Meski begitu, aborsi korban pemerkosaan sedarah harus dilakukan setelah mempertimbangkan aspek agama, sosial, dan medis. Dari aspek medis, kata staf pengajar di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Pesantren Tinggi Darul Ulum (Unipdu), Jombang, ini, kehamilan pada korban pemerkosaan sedarah bisa mengakibatkan gangguan resesif langka pada bayi yang dikandung atau dilahirkan. “Seperti kebutaan, penyakit kulit, dan kelainan syaraf (neurodegeneratif),” tutur dokter yang bertugas di RSUD dr Soekandar, Mojosari, Mojokerto, tersebut.
Sedangkan legalisasi aborsi untuk korban pemerkosaan yang bukan sedarah, menurut dia, rawan disalahgunakan. Seseorang yang hamil karena hubungan di luar nikah dan bukan pemerkosaan bisa saja mengaku sebagai korban pemerkosaan dan meminta keterangan dari kepolisian atau pihak lain dengan cara menyuap. Dengan mengantongi surat keterangan, seseorang bisa melakukan aborsi dengan bantuan dokter atau tenaga medis yang diberi wewenang oleh undang-undang. “Surat keterangan itu yang rawan diselewengkan.”
Pasal 75 dan 76 UU tentang Kesehatan mengatur syarat-syarat aborsi karena indikasi kedaruratan medis dan pemerkosaan. Syarat itu antara lain boleh dilakukan sebelum 6 minggu usia kehamilan dihitung dari hari pertama haid terakhir, kecuali dalam hal darurat medis. Aborsi harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan serta memiliki sertifikat yang ditetapkan Menteri Kesehatan. Aborsi harus dilakukan dengan persetujuan ibu hamil, dengan izin suami--kecuali korban perkosaan, dan penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan Menteri Kesehatan.
Sedangkan Pasal 34 PP tentang Kesehatan Reproduksi mengatur tata cara pembuktian korban pemerkosaan yang bisa melakukan aborsi. Dalam pasal itu diterangkan kehamilan akibat pemerkosaan bisa dibuktikan lewat usia kehamilan sesuai dengan kejadian pemerkosaan yang dinyatakan dengan surat keterangan dokter dan keterangan penyidik, psikolog, dan/atau ahli lain mengenai adanya dugaan pemerkosaan.
Cendekiawan Nahdlatul Ulama, Zahrul Azhar, mengatakan aturan legalisasi aborsi, khususnya bagi korban pemerkosaan, menuntut komitmen moral. “Intinya, pada moral hazard dari tiap aparat, baik tenaga medis maupun polisi,” ujar Ketua Lembaga Kemaslahatan Keluarga (LKK) Pengurus Wilayah NU Jawa Timur ini.
Kalangan dokter masih belum yakin dengan komitmen kepolisian yang berwenang mengeluarkan surat keterangan untuk korban pemerkosaan. “Dokter belum yakin tentang kebersihan aparat kepolisian yang berwenang mengeluarkan ‘surat sakti’ yang bisa bernilai rupiah.”
ISHOMUDDIN
Topik terhangat:
ISIS | Pemerasan TKI | Sengketa Pilpres | Pembatasan BBM Subsidi
Berita terpopuler lainnya:
Jokowi Setuju 6 Jenis Manusia Versi Mochtar Lubis Dihilangkan
Begini Pembagian Jatah Kekuasaan ala Prabowo-Hatta
Fahri Hamzah Cuit Klarifikasi Duit Nazaruddin
Chairul Tanjung Bakal Rangkap 6 Jabatan Menteri