TEMPO.CO, Sidoarjo - Forum silaturahmi ulama se-Jawa Timur yang digelar di Pondok Pesantren Al-Khozini, Buduran, Sidoarjo, tegas menolak pelegalan aborsi bagi korban pemerkosaan seperti diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi.
Pasal 31 ayat 2 dalam peraturan itu menyebutkan tindakan aborsi akibat pemerkosaan hanya dapat dilakukan jika usia kehamilan paling lama 40 hari dihitung sejak hari pertama haid terakhir. Selain bagi korban pemerkosaan, aborsi juga legal dilakukan apabila terjadi keadaan darurat, yaitu jika kondisi ibu dan calon bayi terancam.
Baca Juga:
Juru bicara pertemuan, KH Miftahul Akhyar, menilai kata "legal" multifungsi dan multitafsir, sehingga rawan disalahartikan. "Jadi, jangan sampai menggunakan kata 'legal' dalam peraturan tersebut," katanya di sela-sela pertemuan, Rabu, 20 Agustus 2014. (Baca: Cendekiawan NU Ingatkan Multitafsir Darurat Aborsi)
Menurut Miftahul, pemerintah seharusnya tetap menggunakan istilah "melarang aborsi" meskipun dalam hal-hal tertentu diperbolehkan. Dengan begitu, masyarakat bisa lebih berhati-hati. "Dalam kitab kuning pun juga dilarang. Tapi apabila dalam keadaan mudarat bisa diperbolehkan," kata Rais Syuriah Pengurus Wilayah NU Jawa Timur ini.
Walau demikian, dalam persyaratan mudarat itu, kata dia, banyak yang harus diperhatikan. Misalnya, janin di dalam kandungan, baik akibat pemerkosaan maupun bukan, membahayakan nyawa ibunya. "Jadi ada tahap-tahap dalam menentukan kemudaratan," katanya.
Miftahul menambahkan, masalah itu sebenarnya sudah jelas diatur dalam fikih NU. Ketika ada seorang ibu terancam jiwanya saat melahirkan, maka aborsi diperbolehkan. Karena itu, Miftahul meminta pemerintah untuk meninjau ulang peraturan tersebut supaya tidak membahayakan ketika diterapkan di tengah-tengah masyarakat. (Baca juga: PP Aborsi Memicu Perkosaan)
MOHAMMAD SYARRAFAH