TEMPO.CO, Jakarta - Gubernur Banten nonaktif, Atut Chosiyah, menilai vonis hakim yang menjatuhkan pidana penjara padanya selama 4 tahun dan denda Rp 200 juta, subsider kurungan 5 bulan, terlalu berlebihan.
"Apa yang terjadi pada saya seperti pendapat hakim anggota keempat (Alexander Mawarta), di mana saya tidak memiliki kepentingan dalam urusan sengketa Bupati Lebak," ujarnya seusai sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, pada Senin, 1 September 2014.
Ia mengatakan bahwa pendapat hakim anggota keempat itulah yang benar. Alexander Mawarta, menurut ia, tepat menguraikan argumentasi soal keterlibatan dirinya dalam sengketa pemilu Bupati Lebak. "Satu hakim anggota itu yang tepat," katanya singkat.
Pernyataan Atut ini menanggapi sidang vonis yang baru saja ia jalani. Dalam sidang ini, ada perbedaan pendapat (dissenting opinion) oleh Alexander Mawarta, hakim anggota keempat, di antara lima hakim yang menyidangkan kasus Atut. Menurut Mawarta, Atut tidak terlibat secara aktif dalam urusan sengketa bupati Lebak, Banten.
Mawarta menguraikan argumentasinya dalam sidang soal pertemuan Atut dengan Akil Mochtar di Singapura serta alat bukti yang dipakai sebagai fakta persidangan. Ihwal pertemuan Atut dengan Akil, Mawarta menjelaskan peristiwa itu bukan disengaja ataupun diatur sedemikian rupa untuk membicarakan sengketa pemilu daerah Kabupaten Lebak. Dalam peristiwa tersebut, Atut dan Akil bertemu di Bandara Changi, Singapura, dan terlibat pembicaraan saat antre di Kantor Imigrasi bandara tersebut.
Sementara itu, keempat hakim lainnya menganggap Atut terlibat secara aktif dalam sengketa pemilu Kabupaten Lebak. Pasalnya, empat hakim lainnya selain Mawarta menilai pernyataan Atut pada Akil agar mengawal sengketa pemilu di Lebak, Serang, dan Tangerang merupakan bukti keterlibatan aktif mantan Ketua Bidang Pemberdayaan Perempuan DPP Partai Golkar ini.
Adapun mengenai alat bukti persidangan, Mawarta menganggap salah satu alat bukti rekaman pembicaraan antara Chaeri Wardhana dan Atut tidak bisa dipakai sebagai bukti persidangan. Sebabnya, rekaman tersebut sudah direkayasa dengan tujuan menghilangkan gangguan suara atau noise agar suara menjadi jernih.
"Hasil rekayasa rekaman tersebut bisa menimbulkan persepsi yang berbeda setelah didengarkan ulang," kata ketua majelis hakim, Matheus Samiadji, membacakan perbedaan pendapat yang disampaikan Alexander Mawarta, hakim anggota keempat.
RAYMUNDUS RIKANG R.W
Topik terhangat:
Koalisi Jokowi-JK | Sengketa Pilpres | ISIS | Pembatasan BBM Subsidi
Berita terpopuler lainnya:
Curhat Jokowi: Dari Sinting, Ihram dan Prabowo
Manfaat Caci Maki Florence 'Ratu SPBU'
3 Skandal Asusila Gubernur Riau yang Bikin Heboh
Ini AKBP Idha, Perwira yang Ditangkap di Malaysia