TEMPO.CO, Jakarta - Indonesia selama ini menyia-nyiakan rare earth atau logam tanah jarang (LTJ) sebagai bahan ponsel, layar televisi, kendaraan hibrida, dan produk lainnya. "Logam tanah jarang itu limbah dari pengolahan timah. Selama ini kami jual murah-murah karena belum tahu pemanfaatannya," kata Direktur Jenderal Basis Industri Manufaktur (BIM) Kementerian Perindustrian Harjanto kepada wartawan di Jakarta, Rabu, 3 September 2014. (Baca: Pulau Bangka Dapat Dibangun 10 PLTN)
Menurut Harjanto, pihaknya akan menginisiasi pengkajian pengembangan logam tanah jarang untuk dijadikan sumber energi pembangkit listrik. Dia bakal mengundang Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Badan Atom Nasional (Batan), dan beberapa akademikus dari berbagai perguruan tinggi untuk membahas pemanfaatan logam tanah jarang ini. "Saya akan mengumpulkan semua pemangku kepentingan untuk membicarakan action plan," ujarnya.
Pemanfaatan logam tanah jarang untuk pembangkit listrik ini, kata Harjanto, sudah harus mulai dipikirkan. Sebab, Indonesia menargetkan pertumbuhan ekonomi 7-8 persen pada 2025. Artinya, pertumbuhan industri harus tumbuh di atas pertumbuhan ekonomi. "Kalau kita bicara pertumbuhan industri, jadi pepesan kosong kalau energinya tak ada," katanya.
Jika masih mengandalkan pembangkit listrik dari bahan bakar minyak, pemerintah harus menerima kenyataan bahwa harga minyak dunia naik-turun. Sedangkan jika mengandalkan batu bara, dikhawatirkan muncul keluhan soal carbon footprint. "Paling murah memang menggunakan logam tanah jarang. Kekuatannya empat kali lipat dibandingkan nuklir, ramah lingkungan dan aman," ujarnya.
AMIR TEJO
Berita Terpopuler:
Makam Nabi Muhammad Akan Dipindahkan
May Myat Noe, Sang Ratu Kecantikan Sesaat
Pembelaan Jenderal Sutarman untuk Polisi 'Narkoba'
Soal Skandal Asusila, Ini Pengakuan Gubernur Riau