TEMPO.CO, Jakarta - Presiden terpilih Joko Widodo menilai Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah sebagai sebuah kemunduran dalam demokrasi. “RUU ini jelas memotong kedaulatan rakyat. Jelas ini sebuah kemunduran,” katanya di Balai Kota, Senin, 8 September 2014. (Baca: RUU Pilkada Kemunduran Demokrasi)
Jokowi menilai yang harus dikoreksi dalam pemilihan kepala daerah secara langsung adalah teknis pelaksanaannya. Jika ada perubahan, ujar Jokowi, hanya soal teknisnya. Misalnya, pemilihan kepala daerah dilangsungkan secara bersamaan, tapi bukan mengubah pemilihan menjadi oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau pemilihan tidak langsung.
Sebagai kepala daerah, Jokowi merupakan produk pemilihan langsung. Ia dua kali terpilih di Solo dan satu kali di Jakarta. Ketika maju sebagai calon Gubernur DKI Jakarta, Jokowi diusung oleh partai minoritas di DPRD. Namun, dalam pemilihan langsung, ia menjungkalkan inkumben Fauzi Bowo yang didukung partai mayoritas.
Jokowi mengaku tak memiliki strategi khusus untuk mencegah RUU Pilkada disahkan. Ia menyerahkan seluruh urusan lobi di parlemen pada fraksi-fraksi penyokongnya di parlemen. (Baca: Pengamat Sebut Alasan RUU Pilkada Harus Ditolak)
Dalam draf Undang-Undang Pilkada, Fraksi Demokrat, Golkar, PAN, Gerindra, dan PPP sepakat pemilihan gubernur dan bupati dilakukan melalui DPRD. Sedangkan fraksi PDIP, PKS, PKB, dan Hanura setuju pemilihan secara langsung. Bila RUU disahkan, di atas kertas, Koalisi Merah Putih atau koalisi penyokong Prabowo bisa merebut 31 kursi gubernur dari 33 provinsi. (Baca: UU Pilkada Sah, Koalisi Prabowo Borong 31 Gubernur)
ANANDA TERESIA
Baca juga:
PDIP-Jokowi Tak Berkutik di Depan Koalisi Prabowo
Identitas Jack the Ripper Akhirnya Terungkap
UU Pilkada Sah, Koalisi Prabowo Borong 31 Gubernur
Begini Peta Kekuatan Jokowi-Prabowo di DPR
Gedung Parkir Skywalk Bandung Dibangun Bulan Ini
Sistem Pilkada Diubah, PDIP: Ini Kemunduran