TEMPO.CO, Jakarta -Baru diputar untuk pertama kalinya untuk skala internasional, film dokumenter Joshua Oppenheimer berjudul Senyap atau The Looking of Silence sudah memenangkan memborong penghargaan. Film ini meraih lima penghargaan di Italia, salah satunya Penghargaan Utama Juri di Festival Film Venesia ke-71.
Selain penghargaan utama tersebut, film Senyap juga memenangkan FIPRESCI Award (Penghargaan Federasi Kritikus Film Internasional) untuk film terbaik, Mouse d'Oro Award (Penghargaan Kritikus Online) untuk film terbaik, Fedeora Award (Federasi Kritikus Film Eropa dan Mediterania) untuk film terbaik Eropa-Mediterania, dan Human Rights Nights Award untuk film terbaik bertema hak azasi manusia bersama film Io Sto con la Sposa karya Antonio Augugliaro, Gabriele Del Grande, dan Khaled Soliman Al Nassiry.
“Penghargaan ini adalah sebuah kehormatan bagi kami, dan mudah-mudahan juga merupakan dukungan bagi upaya-upaya di Indonesia untuk menyelesaikan kasus pelanggarah HAM di masa lalu termasuk Tragedi 1965,” ujar Joshua dalam surat elektroniknya. Dia memberikan sambutan jarak jauh pada Sabtu, 6 September 2014. Saat itu pesawatnya tertahan karena badai di Chicago.
Dia juga berharap film ini menjadi awal komitmen untuk menghapus semua bentuk impunitas di pemerintahan baru pimpinan Joko Widodo. Dia juga mengharapkan setelah melihat film ini, masyarakat mau mendengarkan apa yang tersembunyi dari hingar bingar propaganda dan yang tersembunyi dalam sejarah serta menulis ulang sejarah tersebut.
Film Senyap adalah adalah film dokumenter mengenai pembantaian massal 1965 di Sumatera Utara. Sebelumnya Joshua telah membuat film Jagal atau The Act of Killing. Berbeda dengan film Jagal yang mengambil perspektif para pelaku pembantaian tersebut, film Senyap mengambil perspektif penyintas dan keluarga korban.
Film ini bercerita mengenai keluarga Adi Rukun yang mendapatkan pengetahuan mengenai bagaimana kakaknya dibunuh dan siapa yang membunuhnya. Sebagai adik bungsu, Adi bertekad untuk memecah belenggu kesenyapan dan ketakutan yang menyelimuti kehidupan para korban, dan kemudian mendatangi mereka yang bertanggung jawab atas pembunuhan kakaknya.
Adi, sehari-harinya adalah tukang kacamata yang membantu orang lain melihat lebih jelas. Dia pun punya harapan yang sama dengan film ini. “Harapan saya juga membantu banyak orang melihat dengan lebih terang apa yang sebenarnya terjadi dalam sejarah kelam kita yang selama ini dipalsukan atau setidaknya disembunyikan,” ujar Adi melalui surat elektronik kepada Tempo, Ahad, 7 September 2014. “kami, keluarga korban, bukanlah orang jahat. Kami bukan hantu bahaya laten komunisme yang perlu ditakuti. Kami bukan hama yang perlu diberantas.”
Penghargaan ini, kata Adi, menjadi pendorong semangat bagi keluarga mereka dan keluarga korban lain. Untuk membongkar kebohongan, propaganda atas pembantaian massal tersebut.
Bagi ko-sutradara anonim di Indonesia, penghargaan ini menjadi penyemangat mereka. Ketika melihat jalan rekonsiliasi antara pelaku dan korban sangat panjang, penuh rintangan dan berat. “Film ini mencerminkan optimisme kami. Berat tapi bukan jalan yang tak mungkin.”DIAN YULIASTUTI