TEMPO.CO, Yogyakarta - Pakar hukum Universitas Gadjah Mada Zainal Arifin Mochtar mencurigai ada agenda investasi politik dari anggota DPR sekarang lewat revisi Undang-Undang Pilkada.
Menurut Zainal, besar kemungkinan anggota Dewan yang akan berakhir masa kerjanya berniat mencari peluang karier baru lewat pilkada tidak langsung. "Mereka bisa dengan mudah mencalonkan lagi (jadi kepala daerah lewat pilkada tidak langsung)," kata Zainal saat ditemui Tempo pada Selasa, 9 September 2014.
Zainal menyimpulkan pada akhir masa pemerintahan SBY ada gejala pemanfaatan momentum dari para politikus untuk meninggalkan warisan demi investasi politik. Selain di revisi UU Pilkada, Zainal mengamati hal itu jelas terlihat di penetapan Undang-Undang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah (MD3) 2014 yang memuat puluhan pasal bermasalah. "Apalagi sistem legislasi masih buruk. Gemuk di akhir sehingga buru-buru (menyusun undang-undang)," kata Zainal.
Dia khawatir pemilihan kepala daerah oleh anggota DPRD atau pemilihan secara tak langsung bisa membuka kotak pandora korupsi. Menurut Zainal, pemilihan dengan konsep perwakilan tersebut akan memutus relasi politik antara kepala daerah dengan rakyat seperti yang terjadi selama pilkada langsung berjalan. "Kepala daerah akan lebih dekat relasinya dengan anggota Dewan," kata Zainal
Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi tersebut berpendapat relasi politik baru itu memperbesar risiko menjamurnya praktek suap ke anggota DPRD sekaligus menumpulkan peran pengawasan anggota Dewan ke bupati, wali kota atau gubernur. "Mudah dibayangkan, demokrasi apa yang akan muncul (kalau ada pilkada tidak langsung)," kata Zainal.
Menurut Zainal, secara konstitusional pilkada tidak langsung memang masih menjadi perdebatan. Dari sisi historis, kata-kata "pemilihan demokratis" di UUD 1945 dimunculkan dengan maksud belum ada kesepakatan mengenai model pemilihan yang akan berlaku di Indonesia. "Secara perwakilan atau langsung oleh rakyat," ujar dia.
Namun, kata Zainal, pilkada tidak langsung berpotensi besar menurunkan kualitas demokrasi sekaligus menyuburkan korupsi. Pemilihan tidak langsung juga menutup peluang kemunculan calon-calon independen di pilkada. "Padahal, itu (memunculkan calon independen) satu-satunya cara menegur partai," kata dia.
ADDI MAWAHIBUN IDHOM
Topik terhangat:
Koalisi Jokowi-JK | Jero Wacik | Polisi Narkoba | Pilkada oleh DPRD
Berita terpopuler lainnya:
Jokowi Tolak Mercy, Sudi: Mau Mobil Bekas?
Ahok Tolak RUU Pilkada, Mundur Saja dari Gerindra
Gerindra: Ahok Tak Tahu Terima Kasih
Benda Ini Wajib Dibawa Jokowi-Iriana ke Istana