TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral ternyata belum menerbitkan rekomendasi ekspor konsentrat untuk PT Newmont Nusa Tenggara. Menurut Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Sukhyar, penentuan kuota ekspor yang belum rampung merupakan salah satu sebab belum turunnya rekomendasi ekspor. (Baca: Renegosiasi Newmont, Apa Saja yang Disepakati?)
Penentuan kuota ekspor Newmont, kata Sukhyar, harus dihitung berdasarkan kapasitas smelter PT Freeport Indonesia. Sebab, hingga kini, proses pengolahan ore (mineral mentah) masih menggunakan pabrik pemurnian bijih mineral milik Freeport. (Baca: Besok, Newmont Teken MoU Renegosiasi Kontrak)
Kapasitas produksi smelter Freeport hingga akhir 2017 sebanyak 1,6 juta ton konsentrat, sementara alokasi yang akan digunakan oleh Newmont hingga kini belum diketahui. "Mungkin ada stock pile yang belum diekspor karena tertahan larangan ekspor yang lalu," ujarnya. (Baca juga: Smelter Freeport Sebaiknya Dibangun di Papua)
Dengan penambahan itu, kapasitas produksi smelter Freeport diperkirakan bakal naik untuk tahun mendatang. "Jadi, 1,6 juta ton itu bukan harga mati," ujarnya.
Baca Juga:
Seperti diketahui, perusahaan tambang Amerika Serikat itu akhirnya meneken nota kesepahaman (MoU) dengan pemerintah terkait dengan renegoisasi kontrak karya. Ada enam pokok perubahan dalam kontrak karya dalam nota kesepahaman itu yang akan dimasukkan dalam amandemen kontrak.
Keenam pokok tersebut adalah luas wilayah kontrak karya, royalti, pajak dan bea ekspor; pengolahan dan pemurnian dalam negeri; divestasi saham; penggunaan tenaga kerja lokal; barang dan jasa dalam negeri; serta masa berlaku kontrak karya. Newmont juga setuju membayar bea keluar dengan tarif sebagaimana diatur dalam peraturan pemerintah yang dikeluarkan pada Juli 2014.
Pemerintah mewajibkan Newmont menyediakan dana US$ 25 juta sebagai bentuk dukungan terhadap pembangunan smelter. Newmont juga diwajibkan membayar royalti 4 persen untuk tembaga, 3,75 persen untuk emas, dan 3,25 persen untuk perak, serta membayar iuran tetap (deadrent) US$ 2 per hektare.
JAYADI SUPRIADIN
Topik terhangat:
Koalisi Jokowi-JK | Ahok dan Gerindra | Pilkada oleh DPRD | Haji 2014
Berita terpopuler lainnya:
Adem Sari, Ini Nama Pemain Bola Ganteng Asal Turki
iPhone 6 Cuma Rp 2,3 Juta di Amerika
Norman Kamaru, dari Artis Kini Jadi Tukang Bubur
Jokowi Janji Akan Cukur Biaya Rapat Rp 18 Triliun