TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang Pemilihan Umum Kepala Daerah, Abdul Malik Haramain, mengatakan pemerintah bisa menarik atau menunda Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah dengan beberapa alasan mendasar. "Sangat mungkin menarik RUU Pilkada dengan beberapa alasan," kata Malik kepada Tempo, Kamis, 11 September 2014. (Simak juga: Sengkarut Pilkada di DPR, Ini Asal Mulanya)
Menurut Malik, alasan untuk menarik RUU itu dari pembahasan pertama, sampai saat ini pemerintah dengan fraksi, maupun internal fraksi belum bersepakat dengan pasal yang paling substansial yaitu pemilihan kepala daerah ditunjuk oleh DPRD. “Kami saja belum menemukan kata sepakat,” ujar politikus Partai kebangkitan Bangsa itu. (Baca: Pemerintah Mati-matian Loloskan Pilkada Langsung)
Kedua, tenggat waktu putusan sangat sempit untuk memutuskan hasil RUU Pilkada untuk disahkan di sidang paripurna pada 25 September 2014. Menurut Abdul, diperlukan waktu lama untuk fraksi dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) untuk dapat berbicara dan bertemu. “Waktunya sudah sangat mepet, perlu waktu yang agak lama untuk bisa mempertemukan semua," kata Malik.
DPR dan pemerintah tengah membahas revisi RUU Pilkada. Salah satu isi perubahan itu adalah menawarkan opsi pemilihan kepala daerah secara langsung dan opsi pemilihan lewat DPR Daerah. Fraksi yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih bersepakat pemilihan kepala daerah melalui mekanisme dipilih oleh DPRD.
Abdul mengatakan sampai saat ini draf RUU Pilkada perlu dirumuskan lebih dalam. Ia pesimistis beleid akan selesai tepat waktu. Masa depan demokrasi menjadi hal yang serius bagi pemerintah. Ia menilai RUU Pilkada melalui DPRD akan menodai nilai-nilai demokrasi. "Pengambilan keputusan harus dengan jernih, jangan berdasarkan emosi sesaat." (Baca: Jimly Asshiddiqie: Pilkada di DPRD 'Bunuh' KPUD)
Abdul menilai berdasarkan alasan-alasan tersebut, pemerintah bisa saja menarik RUU Pilkada. Jika tidak, kata Abdul, pemerintah bisa menunda proses keputusan RUU Pilkada dan dilanjutkan oleh DPR yang baru. “Daripada dipaksakan, ini persoalan menyelamatkan demokrasi. Pemerintah perlu mendengarkan pendapat publik," ujar Malik. (Baca: Pilkada DPRD, Jokowi: Itu Bentuk Elite Haus Kuasa)
DEVY ERNIS
Berita terpopuler lainnya:
Jokowi Tolak Mercy, Sudi: Mau Mobil Bekas?
Ini Keunggulan iPhone 6 Ketimbang iPhone Lama
Benda Ini Wajib Dibawa Jokowi-Iriana ke Istana
Hari Ini, Harga Elpiji Naik Rp 18 Ribu per Tabung