TEMPO.CO, Jakarta - Rencana pemerintah dan DPR merevisi sistem pemilihan kepala daerah secara langsung, menuai protes dari sejumlah kalangan. Revisi dilakukan karena pilkada langsung menimbulkan konflik horizontal di masyarakat. (Baca: Warga Ibu Kota Juga Tolak Pilkada Lewat DPRD)
Menurut ahli hukum tata negara, Refly Harun, sistem pilkada langsung harus didukung. Dia mengatakan kepala-kepala daerah berprestasi di Indonesia, justru muncul karena adanya pilkada langsung. "Kalau tidak dengan pilkada langsung, bagaimana mungkin orang-orang seperti Ahok, Risma, dan Ridwan Kamil bisa jadi pemimpin?" kata Refly. (Baca: Aksi Dukung Pilkada Langsung Menular ke Lima Kota)
Ahok, atau Basuki Tjahja Purnama adalah Wakil Gubernur DKI Jakarta yang diusung Partai Gerindra. Adapun Risma Tri Harini, adalah Wali Kota Surabaya dari PDI Perjuangan. Sedangkan Ridwan Kamil merupakan Wali Kota Bandung dari Partai Gerindra. Ketiganya dinilai memiliki rekam jejak yang bagus dan berhasil memimpin daerah masing-masing. (Baca: Pilkada Serentak, Begini Gambaran Praktiknya)
DPR saat ini sedang membahas Rancangan Undang-Undang Pilkada yang akan disahkan pada 25 September mendatang. Enam fraksi dari Partai Gerindra, Demokrat, PKS, Golkar, PAN, dan PPP mendukung pilkada dikembalikan ke tangan DPRD. Pilkada langsung yang telah berjalan sepuluh tahun dianggap boros dan memicu konflik horizontal. Sikap para anggota Dewan ini menuai penolakan dari masyarakat.
Hal ini dibantah oleh Maskuridin Hafidz, dari Jaringan Pendidikan Pemilih. "Tidak benar konflik horizontal di masyarakat tinggi akibat adanya pilkada langsung. Buktinya 90 persen berjalan damai," katanya, Ahad, 14 September 2014.
Sikap fraksi-fraksi tersebut, kata Maskuridin, adalah permainan politik tingkat tinggi yang akan membuat demokrasi Indonesia berjalan mundur. Memilih pemimpin semestinya menjadi hak konstitusional rakyat yang dilindungi oleh negara.
MOYANG KASIH DEWIMERDEKA
Berita Terpopuler