TEMPO.CO, Jakarta - Karya seni itu lahir dari kapur tulis. Mereknya “Sarjana”, seperti yang digunakan di ruang-ruang kelas se-Indonesia sampai pertengahan 1990-an. Medianya, papan hitam—layaknya papan tulis kayu, pasangan abadi Sarjana—atau dinding kayu.
Dengan kapur itulah Zaky Arifin berekspresi. Karyanya terpampang di Hotel Artotel, Jalan Sunda, Menteng, Jakarta Pusat. “Saya menggambar gajah sedang berenang,” kata dia kepada Tempo, dua hari lalu. “Itu mimpi saya, karena saya tidak bisa berenang.” (Baca: Merasa Kurang Diperhatikan, Pelukis Tunadaksa Demo)
Gambar itu terbentuk dari deretan garis berpola—mirip arsiran—sehingga gajah seperti memiliki setrip layaknya zebra. “Artinya, hal kecil bisa menjadi besar,” kata Zaky, berfilosofi. Ada juga gambar ubur-ubur dan beruang kutub.
Pria kelahiran Jakarta, 27 Maret 1983, ini mengawali pekerjaan sebagai chalk artist atawa seniman kapur dari kebiasaannya mencoret-coret tembok kamarnya. Kabar soal keindahan guratannya menyebar dari mulut ke mulut sampai dia mendapat order pertama, yaitu menulis daftar menu di kafe Aria, Senayan, empat tahun lalu. Bayarannya lumayan, Rp 4 juta. Menulis dengan kapur di papan kayu menghasilkan aura klasik, layaknya kedai kopi di Amerika Serikat dan Eropa pada 1950-an.
Selama dua tahun pertama kariernya, dia menemukan karakter gambarnya, yaitu arsiran. Rezeki Zaky terdongkrak Twitter dan Instagram, yang secara serta-merta menjadi ajang promosi bagi karyanya. Tulisan indahnya tersebar di Jakarta, di antaranya Pong Me! Lounge, The Holy Crab, Le Cafe Gourmand di Jalan Gunawarman, Mojo Kitchen and Bar di Jalan Kertanegara, Toko Gunung Agung, Senayan City, sampai 6 Degree Coffee di Mal Alam Sutra, Tangerang.
Tahun lalu, lewat rekomendasi teman, dia dipertemukan dengan pemilik Artotel dan diberi keleluasaan untuk menghias 20 kamar di lantai 3. “Kapur memberi konsep kesederhanaan,” ujar dia. (Baca: Seniman Didong Malam ini “Duel” di Senayan)
Zaky membutuhkan rata-rata tiga sampai empat jam, dan lima batang kapur, untuk satu gambar atau tulisan—harga sekotak kapur tulis Sarjana berisi 50 batang sekitar Rp 5.000. Kendala terbesar tulisan dan gambar kapur, dia menambahkan, adalah mudah terhapus. Dia pernah harus mengulang gambarnya karena pemilik kafe memintanya menggambar di pintu. “Terhapus karena tergesek orang lewat,” ujar dia. Selanjutnya, gambar atau tulisan yang permanen, seperti di Artotel, dia timpa furnish sebagai pelindung.
Zaky berkarya secara otodidaktik. Tidak seperti kapurnya, dia tidak mencapai gelar sarjana. “Saya jebolan Inter Study, Jakarta, semester III,” kata dia. Lepas dari bangku kuliah, dia menganggur tiga tahun sebelum menjadi operator cetakan film. Dia mendekati dunia seni saat bekerja sebagai petugas lay out dan touch up di sebuah perusahaan foto pranikah.
Eksposur besar di Artotel memberi pengaruh bagi beberapa chalk artist. “Namun, mereka hanya mengerjakan proyek. Tidak spesialis,” ujar Zaky, yang mendirikan Studio Minor di Jakarta, awal tahun ini.
Berapa upah chalk artist? Zaky enggan membeberkan detailnya. Dia hanya memberi rentang Rp 4 juta–Rp 40 juta. “Hitungannya per meter persegi, di luar jasa desain,” kata dia.
EVIETA FADJAR
Terpopuler
Game World In AyoDance Diluncurkan
Batik Banyuwangi di Mata Priscilla Saputro
Bagteria, Tas Lokal Favorit Paris Hilton
Rumah Sakit Singapura Bangun Ruang Isolasi Ebola
Produk Lokal Menuju Pasar Bebas