TEMPO.CO, Jakarta - Pengaju uji materi Undang-Undang Perkawinan menyebut beberapa contoh inkonsistensi negara saat menjadi fasilitator warga negaranya. Pengaju membandingkan perlakuan negara terhadap perkawinan berbeda dengan perceraian, zakat, dan haji.
"Kalau kita lihat konteks cerai, ternyata negara mengambil sikapnya sangat baik," kata salah satu pengaju, Damian Agata Yuvens, pada Tempo, Sabtu kemarin, 20 September 2014.
Menurut Damian, negara cenderung mengakomodir perceraian tanpa melihat hukum agamanya seperti apa. Damian mencontohkan agama Katolik, yang merupakan satu dari lima agama yang diakui di Indonesia, tidak mengenal perceraian.
Karena menurut agama Katolik, apa yang sudah dipersatukan Tuhan, tidak boleh diceraikan manusia. "Tapi toh negara masih mengakomodir perceraian," kata Damian.
Ini bisa terjadi karena jika terjadi percekcokan yang tidak bisa didamaikan, maka hakim melihat perceraian secara hukum sebagai jalan keluar. "Di situ kan posisi negara pas. Hakim mengakomodir," kata Damian.
Dalam posisi perceraian ini, negara tidak melihat Indonesia hanya Katolik saja. "Ada agama lain dan kepercayaan lain yang ternyata mengizinkan itu." Damian melihat negara sudah tepat berada di posisi tersebut karena mampu mengakomodir atau menjadi fasilitator. (Baca:Ratusan Remaja Malang Minta Dinikahkan)
"Namun lucunya kalau kemudian kita lihat di awal (soal perkawinan), ya dia malah jadi penghakim di situ. Kan, enggak konsisten di situ. Seharusnya kalau mau konsisten, ini sudah bagus menjadi fasilitator."
Rekan Damian, Rangga Sujud Widigda, mengatakan, "Jadi ketika ingin bercerai, negara mengakomodir. Tapi ketika ingin bersatu, negara menghakimi. Itu, kan, aneh. Konsistensinya enggak ada."
Dengan menjadi fasilitator perceraian, Rangga mengatakan negara tidak berupaya mengkerdilkan salah satu agama. (Baca: Soal Nikah Beda Agama, UU Perkawinan Digugat)
Rangga mencontohkan perlakuan negara lainnya yang dianggap sudah pas. Misalnya soal zakat. "Sah atau tidaknya zakat saya bukan urusan negara, tapi pencatatan tetap dilakukan. Sah atau tidaknya perkawinan itu adalah domain sakral agama, yang dilakukan oleh negara di sini adalah mencatat," kata Rangga. "Mabrur atau tidaknya haji kita juga itu domain agama."
Sebelumnya, Damian Agata Yuvens, Anbar Jayadi, Rangga Sujud Widigda, dan Luthfi Sahputra pada 4 Juli 2014 telah mengajukan judicial review terhadap Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan kepada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
Tujuan pengajuan ini adalah untuk memberikan kepastian dan perlindungan terhadap hak konstitusional setiap warga negara Indonesia, khususnya hak beragama, hak untuk melangsungkan perkawinan, hak untuk membentuk keluarga, hak atas kepastian hukum, hak atas persamaan di hadapan hukum dan hak atas kebebasan dari perlakuan yang bersifat diskriminatif.
FEBRIANA FIRDAUS
Terpopuler:
Prabowo Klaim Gerindra Kalah karena Kurang Duit
Tidak Jadi Menteri, Abraham Siap Maju Pilpres 2019
Asian Games 2018, Ahok: Jokowi Jadi Sukarno Kedua
Jokowi: Bangsa Besar Tidak Cukup Dibangun Empat Partai
Mega: Emangnya Saya Ngurusin Kabinet