TEMPO.CO, Yogyakarta - Petani kedelai di Kabupaten Gunungkidul mengeluhkan minimnya bantuan pemerintah. "Hanya memberi bibit dan angin-anginan," kata Tri Harjono, Ketua Koperasi Tahu-Tempe Kabupaten Gunungkidul, Rabu, 24 September 2014. Hari Tani Nasional yang diperingati setiap tanggal 24 September, kata dia, seharusnya menjadi momentum bagi pemerintah untuk memberdayakan hasil pertanian lokal yang tak populer, seperti kedelai. (Baca: Jimly Minta Jokowi-JK Tangani Konflik Agraria)
Di Gunungkidul, yang merupakan lahan kering dengan sedikit sumber air, penanaman kedelai dilakukan saat pertengahan musim hujan sampai awal kemarau. Ketika musim hujan, para petani memilih menggunakan lahan mereka untuk menanam padi. (Baca: Penduduk Gunungkidul Bergantung Bantuan Air)
Adapun angin-anginan yang dimaksud Tri Harjono, antara lain, bantuan datang tidak sesuai dengan jadwal. Bantuan bibit sering ditumpuk atau diberikan secara serentak dalam satu waktu. Karena lahan yang dimiliki terbatas, hanya satu jenis bibit yang dipakai. Bibit-bibit itu tak mungkin dicampur. "Malah semuanya bisa gagal panen," kata Tri.
Subing, petani lain, menuturkan, sebagai petani kecil, ia menyewa lahan dari tanah lungguh yang bisa dikelola untuk pertanian. Tahun ini dia menyewa 2.000 meter persegi dengan biaya Rp 900 ribu untuk dua tahun. Lahan itu dua kali diolah untuk tanaman padi dan dua kali untuk kedelai setiap tahun.
Dia menanam kedelai jika harganya bagus. Jika harganya sedang jatuh, dia menanam tanaman lain. Sejak empat tahun terakhir, Subing mengisi lahannya dengan tanaman kedelai karena harganya terus meningkat. Saat ini harga kedelai Rp 8.000 per kilogram. "Saya berharap pemerintah memberikan subsidi, khususnya dalam penyewaan lahan, sehingga kami tidak perlu keluar banyak uang saat produksi," katanya.
PRIBADI WICAKSONO