TEMPO.CO, Surabaya - Aneka peralatan canggih melengkapi kehadiran Terminal Multiguna Teluk Lamong, Surabaya. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meresmikan terminal ini pada 5 September 2014. (Baca: Terminal Teluk Lamong Beroperasi September 2014)
Terminal ini dibangun untuk menjawab masalah kapasitas Pelabuhan Tanjung Perak yang sudah kepayahan menerima arus peti kemas yang tahun lalu sudah mencapai 2,9 juta TEUs (peti kemas ukuran 20 kaki).
Apa kehebatan terminal anyar yang dibangun sejak 2010 dengan luas hampir 40 hektare dan anggaran Rp 4,1 triliun ini? Pertama, Teluk Lamong adalah terminal pertama di Indonesia, atau keenam di dunia, yang akan beroperasi secara semiotomatis.
Teluk Lamong, misalnya, tak menggunakan Rubber Tyred Gantry (RTG) sebagai alat pemindah kontainer. Penggantinya adalah Automatic Stacking Crane yang terhubung dengan Terminal Operating System (TOS) yang memudahkan identifikasi status dan informasi setiap kontainer. (Baca: Terminal Teluk Lamong Bakal Nyambung dengan Kereta)
Sistem bikinan Konecranes itu seperti yang diterapkan APM Terminal di Portsmouth, Amerika Serikat; Terminal Catalunya, Spanyol; Abudhabi Port, Uni Emirat Arab; serta Sydney International Container Terminals dan Brisbane Container Terminals--keduanya di Australia. Konon, Jepang dan Korea Selatan juga memiliki ASC, tapi dengan produsen yang berbeda.
Dengan spesifikasi teknologi itu, kapal-kapal yang merapat di Teluk Lamong nantinya dijanjikan tak perlu antre. Ini jelas berbeda dengan yang selama ini terjadi di terminal di Pelabuhan Tanjung Priok di Jakarta. Di sana, Direktur Utama PT Terminal Teluk Lamong, Prasetyadi, menyebutkan waktu tunggu kapal untuk bongkar-muat bisa mencapai empat hari. Padahal, untuk menunggu tambat saja bisa keluar hampir US$ 20 ribu per hari. “Di sini kami tawarkan zero waiting time,” katanya.
Kedua, bukan cuma efisiensi hadling, Teluk Lamong juga mengedepankan konsep ramah lingkungan. Alat bongkar-muatnya, ASC dan juga Ship-to-Shore Crane (STS) digerakkan sepenuhnya dengan tenaga listrik. Sedangkan Automotive Terminal Trailer (ATT) dan Straddle Carriers (SC) menggunakan mesin diesel dengan standar emisi EURO 4.
Ketiga, Teluk Lamong menetapkan semua truk yang belum memenuhi standar emisi tersebut berhenti di area transfer di luar dermaga. Muatan lalu dipindahkan ke atas truk kontainer berbahan bakar CNG. PT Pelabuhan Indonesia III dan DPC Organda Khusus Tanjung Perak telah meneken nota kesepahaman untuk mendukung konsep green port tersebut.
“Kalau di Jepang dan Korea, mereka masih memperbolehkan truk berbahan bakar diesel masuk sampai dermaga,” kata Direktur Operasional dan Teknik PT Teluk Lamong, Agung Kresno Sarwono. Agung, yang sebelumnya pernah bekerja sebagai Direktur Operasional DP World--sebuah perusahaan operator terminal di Pusan, Korea--selama dua tahun memastikan, “Teluk Lamong merupakan green port pertama di Asia.”
Untuk mendukung operasional itu, Terminal Teluk Lamong pada tahap awal ini akan membutuhkan pasokan listrik sekitar 16 MW yang akan meningkat menjadi sekitar 100 MW pada 2018-2020. Sebagian kebutuhan itu akan dipenuhi oleh PLN dan sisanya akan dibangkitkan sendiri dari Pembangkit Listrik Tenaga Gas. “Investasi untuk proyek pembangunan PLTG ini sekitar Rp 1 triliun,” kata Direktur Utama PT Pelindo III Djarwo Suryanto.
ARTIKA RACHMI FARMITA
Terpopuler:
FPI Minta Ahok Jaga Mulut
Wartawati Tempo Dilecehkan Simpatisan FPI
Soal Gantung Diri di Monas, Anas: Siapa Bilang?
Adnan Buyung: Jaksa Penuntut Anas Bodoh