TEMPO.CO, Jakarta - Janda Abdurahman, Fatimah, 90 tahun, hampir setiap hari menangis mengingat perbuatan anak keempat dan menantunya yang menggugatnya ke Pengadilan Negeri Tangerang secara perdata senilai Rp 1 miliar. Selain meminta ganti rugi, Fatimah diminta pergi meninggalkan tanah sengketa seluas 397 meter persegi yang konon sudah dibeli almarhum suaminya dari Nurhakim, menantunya, senilai Rp 10 juta pada 1987.
Nenek dengan delapan anak ini hanya bisa pasrah atas perkara yang membelitnya. "Ibu menangis, sedih sampai pernah masuk rumah sakit, tekanan batin dan pikiran," kata Asmah, anak bungsu Farimah kepada Tempo, Kamis, 25 September 2014. (Baca: Kronologi Gugatan Rp 1 Miliar ke Nenek Fatimah)
Sejak sengketa tanah meruncing pada 2011, kesehatan Fatimah terus menurun. Ia sempat sakit selama tiga bulan dan membuat berat tubuhnya terus menyusut. "Turun sampai 20 kilogram," ujar Asnah.
Asmah menuturkan ibunya bahkan tidak berkomunikasi dengan anak serta menantunya tersebut sejak tiga tahun silam. "Nurhana dan Nurhakim mendiamkan ibu dan kami. Mereka tidak pernah datang ke rumah lagi," katanya. (Baca: Nenek 90 Tahun Digugat Rp 1 Miliar oleh Anak-Mantu)
Padahal, ujar Asmah, rumah yang didiami ibu serta dua kakaknya, Marhamah dan Rohimah, di Gang Mushola Bulak Batu RT 02 RW 01 itu jaraknya tidak sampai 1 kilometer dari rumah Nurhana-Nurhakim di Gang Jambu, sama-sama di Kelurahan Kenanga, Cipondoh, Kota Tangerang.
Asmah menuturkan dia, dua kakak perempuannya itu, dan ibunya menjadi saksi saat ayahnya menyerahkan uang Rp 10 juta kepada Nurhakim. "Saya lihat Bapak menghitung dan menyerahkan uangnya. Waktu hitungan sampai Rp 5 juta, listrik padam, dan dilanjutkan menghitung dengan lampu minyak," kata Asmah.
Kakak iparnya itu, ujar dia, lalu menyerahkan sertifikat tanah kepada ayahnya. "Iya, Be (Babe), uangnya sudah saya terima, ini sertifikatnya," ujar Asmah menirukan ucapan Nurhakim. Namun, belakangan, Nurhakim selalu mengungkit kalau tanah itu belum pernah dibayarkan. "Ibu kasihan, sangat sedih. Pernah mau damai, tapi Nurhakim minta uang, mulai Rp 20 juta, lalu naik Rp 50 juta sampai Rp 300 juta, dan puncaknya menggugat ke pengadilan," kata Asmah.
Sementara itu, pengacara Nurhana dan Nurhakim, Luhut Sinaga, mengatakan gugatan dilayangkan karena gagalnya perundingan damai antara kedua belah pihak. "Makanya, klien kami mengugat ke pengadilan," ujar Luhut saat dihubungi Tempo, Kamis, 25 September 2014.
Menurut Luhut, masalah sengketa tanah warisan ini tidak bisa diselesaikan secara kekeluargaan karena Fatimah dan tiga anaknya yang menempati rumah di atas lahan sengketa tidak mau mengalah dan memberikan ganti rugi. "Mereka malah seolah-olah sudah menang dan mengklaim sebagai pemilik sah tanah itu," tutur Luhut.
Pada 1987, kata Luhut, Fatimah pernah meminjam sertifikat tanah tersebut untuk suatu kepentingan. "Tapi, ketika sertifikat itu mau diambil, mereka malah menjanjikan sejumlah uang, dari Rp 20 hingga 50 juta," kata Luhut.
Nurhakim dan Nurhana kemudian menolak tawaran itu dan menuntut agar Fatimah mengembalikan sertifikat tanah itu. "Terakhir, mereka berdalih jika tanah itu sudah dibeli tahun 1987. Tapi, ketika ditanya bukti kuitansinya, tidak ada," ujar Luhut.
AYU CIPTA | JONIANSYAH
Berita Terpopuler:
Wartawati Tempo Dilecehkan Simpatisan FPI
FPI Demo, Masyarakat Diminta Dukung Ahok
Mayat Wanita Korban Pemerkosaan Tergolek di Kebun
Politik Komunikasi Ahok Terlalu Blakblakan
LBH Jakarta: Unjuk Rasa FPI Melanggar Hukum