TEMPO.CO, Jakarta - Lentera Indonesia, lembaga independen yang aktif melakukan pembelaan terhadap hak-hak anak Indonesia, meminta DPR tidak mengesahkan perubahan atas UU Perlindungan Anak (UU PA) yang bakal digelar pada sidang paripurna minggu depan. “Perubahan UU PA oleh Komisi VIII terkesan dipaksakan dan tidak menjawab persoalan perlindungan anak saat ini,” ujar Hery Chariansyah, SH, Direktur Eksekutif Lentera Anak Indonesia, di Jakarta, Kamis, 25 September 2014.
Menurut Hery, perubahan UU itu hanya akan menghasilkan perlindungan seadanya bagi anak. Alasannya, perubahan atas UU PA yang telah ditetapkan Komisi VIII DPR RI pada Kamis, 18 September 2014 lalu sangat minimalis dan tidak menjawab persoalan kekerasan terhadap anak yang terus meningkat. Perubahan itu, kata Hery, hanya menambah peran daerah dalam upaya perlindungan anak, sanksi yang lebih berat untuk pelaku kekerasan seksual, dan masalah akte kelahiran. “Padahal, persoalan kekerasan terhadap anak tidak terbatas pada kekerasan seksual,” kata dia. (Komisi Perlindungan Anak Bentuk Satgas di RT RW)
Hery mengingatkan bentuk kekerasan terhadap anak sangat beragam. Ada yang berupa kekerasan fisik, kekerasan psikologis, kekerasan seksual, dan pengabaian. Yang menyedihkan, menurut Hery, kekerasan terhadap anak tersebut mengalami peningkatan, baik secara kualitatif maupun kuantitatif. “Sehingga, bila amandemen hanya mengubah sanksi terkait kasus kekerasan seksual, perubahan tersebut tidak bersifat substansial,” ujar Hery.
Lentera mencatat tingginya data pelanggaran hak anak menunjukkan bahwa regulasi dan kebijakan yang ada tidak mampu menjamin perlindungan pada anak. Kekerasan yang dialami anak berjalan terus, seolah-olah sanksi yang diberikan kepada pelaku kekerasan tidak memberikan efek jera bagi dirinya.
Selain kurang memberi penekanan pada kasus-kasus kekerasan anak di luar kekerasan seksual, perubahan UU PA juga tidak mengakomodir perkembangan hukum yang ada.
Secara khusus Hery menyebut UU No 36/2009 tentang Kesehatan.
UU ini sudah menetapkan rokok sebagai salah satu zat adiktif. Maka, kata Hery, seharusnya pada Pasal 59 ayat (2) huruf (e) tentang perlindungan anak dari bahaya zat adiktif, secara spesifik disebutkan bahwa termasuk rokok sebagai zat adiktif. “Ini bertujuan supaya anak-anak mendapat kepastian akan perlindungan dari bahaya zat adiktif rokok”. (Darurat Perlindungan Anak)
Persoalan perlindungan anak dari bahaya zat adiktif rokok sudah seharusnya mendapatkan perhatian penuh dari pemerintah. Sebab, data menunjukkan jumlah anak yang menjadi perokok terus meningkat dalam sepuluh tahun terakhir. Prevalensi perokok anak usia 10-14 tahun meningkat dari 9,5% pada 2001 menjadi 17,5% pada 2010. Sedangkan prevelensi perokok remaja usia 14-19 tahun meningkat dari 12,7% pada 2001 menjadi 20,3% pada 2010. Selain itu, data Riskedas 2007 juga menyebutkan bahwa sebanyak 343 juta anak terpapar asap rokok di tempat umum dimana 11,4 juta di antaranya berusia 0-4 tahun.
DP