TEMPO.CO, Jakarta - Mantan hakim konsitusi, Maruarar Siahaan, mengatakan peluang dibatalkannya mekanisme pemilihan kepala daerah melalui dewan perwakilan rakyat daerah dalam UU Pilkada saat melakukan uji materi di Mahkamah Konstitusi, hanya 50 persen. Musababnya, dua tafsir mengenai mekanisme pilkada, baik langsung atau pun melalui DPRD sama-sama tidak melanggar konstitusi. (Baca: UU Pilkada, Ridwan Kamil: Ibarat Dipaksa Kawin)
"Jadi nanti tergantung bagaimana majelis hakim yang menentukan," kata Maruarar, saat dihubungi, Jumat, 26 September 2014. "Terlepas dari doktrin konsistensi bahwa itu adalah prinsip konstitusi, yang tidak harus berubah atas tafsir dalam undang-undang tersebut." (Baca: Dua Cara SBY Selamatkan Citra di UU Pilkada)
Namun menurut Maruarar, sebenarnya pilkada melalui DPRD sudah tidak berlaku lagi sejak amandemen kedua UUD 1945, yang dilakukan pada tahun 2000. Di dalam Pasal 18 UUD 1945, itu terdapat aturan pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota yang dipilih secara demokratis. Artinya, kata Maruarar, amandemen saat itu sudah mengamanatkan bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat dengan cara pemilihan langsung. (Baca: PPP: Amarah SBY Melengkapi Skenario)
"Jadi amanat konstitusi sudah tidak memberikan lagi wewenang kepada DPRD untuk memilih kepala daerahnya," ujar Maruarar. "Kedaulatan saat ini ada di tangan rakyat, jadi memang pilkadanya harus dilakukan langsung." (Baca juga: UU Pilkada, Warga Indonesia Demo SBY di New York)
REZA ADITYA
Topik terhangat:
Koalisi Jokowi-JK | Kabinet Jokowi | Pilkada oleh DPRD | Parkir Meter | IIMS 2014
Berita terpopuler lainnya:
UU Pilkada Tak Berlaku di Empat Daerah Ini
Pilkada, PPP: Demokrat Mainkan Skenario Prabowo
Prabowo Senang Pilkada Langsung Dihapus
UU Pilkada, Netizen Minta SBY Stop Bersandiwara