TEMPO.CO, Jakarta - Pasangan ganda putri Indonesia Nitya Krishinda Maheswari tampaknya tidak cocok dipasangkan dengan Greysia Polii. Dari segi karaketer kedunya sangat berbeda. Perbedaan itu tampak jelas ketika mereka sedang bertanding. Greysia sangat ekspresif, sering sekali teriak-teriak di lapangan. Sementara, Nitya, cenderung tak banyak aksi. Ternyata perbedaan karakter itulah yang membuat mereka klik sehingga kompak di lapangan sehingga mampu menyabet medali emas di Asian Games 2014.
"Nitya memang diam-diam menghanyutkan. Kadang kalau sama Nitya harus ditanya dulu, baru deh mau bicara," kata Greysia seperti dikutip dalam situs badmintonindonesia.org Minggu, 28 September 2014.
Perempuan kelahiran Blitar, 16 Desember 1988 ini, menurut Greys juga tidak mudah bisa percaya dengan orang lain. "Dia juga pilih-pilih orang kalau mau curhat," ujar pasangan Nitya itu.
Nitya dan Greysia sempat dipisahkan pada akhir tahun 2009 lalu. Perkawinan keduanya di nomor ganda diceraikan oleh tim pelatih nasional karena prestasi mereka dinilai kurang maksimal. Setelah penampilan terakhir di SEA Games Laos 2009, Nitya dipasangkan dengan Shendy Puspa Irawati dan Greysia dipatnerkan dengan Meiliana Jauhari.
Sebelum akhirnya disatukan lagi dengan Greysia, Nitya sempat berpasangan dengan Anneke Feinya Agustin. Bersama Feinya, Nitya sempat membuat gebrakan dengan menyabet medali emas SEA Games 2011 setelah menyingkirkan seniornya Vita Marissa yang berpasangan dengan Nadya Melati.
Momentum penyatuan kembali Nitya dan Greysia terjadi saat PBSI melakukan perombakan pemain ganda putri menjelang Piala Sudirman 2013. Penampilan mereka di ajang Piala Sudirman yang berlangsung di Stadion Putra, Bukit Jalil, Kuala Lumpur, 19-26 Mei 2013 itulah yang kemudian menjadi pertimbangan untuk melanjutkan duet mereka setelah terpisah empat tahun.
Kekompakan yang ditunjukkan ketika pertandingan ternyata juga dibumbui dengan pertengkaran-pertengkaran kecil di antara keduanya. Hal itu diakui oleh Greysia, "Sebagai pasangan dan teman, tentunya pernah." Namun, pertengkaran itu seringkali harus diabaikan karena mereka harus bersikap profesional.
Jika pertengakaran yang terjadi sudah mengganggu dalam latihan, pelatih akan turun tangan. "Koh Didi (panggilan kepada sang pelatih, Eng Hian) juga turun langsung soal non teknis seperti ini, maklum anak didiknya perempuan semua yang perasaannya lebih sensitif dari laki-laki, ha ha ha," kata Greysia.
Pelatih ganda putri Eng Han, menurut Greysia, mampu menjadi penengah yang baik setiap terjadi pertengakaran di antara pemain. "Kalau sudah ada masalah, kami bertemu bertiga. Saat sudah selesai dibicarakan, Koh Didi bilang: sudah selesai ya sampai di sini, tidak boleh ada gondok-gondokan, kalau ada, keluarin sekarang. Awas ya kalau sampai saya dengar lagi soal ini," Greysia menjelaskan.
Kekompakan Nitya dan Greysia ternyata mampu menjadi kekuatan tersendiri bagi mereka saat berkiprah di ajang pesta olahraga empat tahunan se-Asia ini. Satu demi satu lawan disingkirkan walaupun secara peringkat mereka masih di bawah lawan yang dihadapi hingga sampai ke final dan akhirnya menyabet medali emas.
Prestasi Nitya/Greysia di Incheon Sabtu lalu menjadi catatan baru dalam sejarah bulu tangkis Indonesia. Mereka menjadi pebulu tangkis ganda putri pertama Indonesia yang meraih medali emas Asian Games setelah 36 tahun. Terakhir, pasangan Indonesia Verawaty Fajrin/Imelda Wiguna menyabet emas di Asian Games tahun 1978.
RINA WIDIASTUTI | BADMINTONINDONESIA