TEMPO.CO, Yogyakarta - Surat izin mengemudi (SIM) memiliki arti penting bagi mereka yang mengalami keterbatasan fisik (difabel). Selain meningkatkan kemandirian dalam kehidupan sosial, surat itu memudahkan mereka mencari pekerjaan dan bekerja, serta mendapatkan kebebasan bepergian.
”Pentingnya penerbitan SIM kepada difabel salah satunya dipicu oleh belum optimalnya pelayanan angkutan umum dan infrastruktur publik dalam mengakomodir orang-orang yang mengalami keterbatasan fisik,” kata Kepala Pusat Studi Transportasi dan Logistik (Pustral) UGM Danang Parikesit saat berbicara dalam seminar Pemenuhan Akses Transportasi bagi Kebutuhan yang Beragam di Yogyakarta, Senin, 29 September 2014. (Baca: PT KAI Sediakan Kereta Khusus untuk Difabel)
Seminar itu diselenggarakan Pustral UGM bekerja sama dengan Pemerintah Kota Yogyakarta, Ditlantas Polda DI Yogyakarta, Dishubkominfo DIY, Difable Motorcyclist Community (DMC), dan komunitas Roda untuk Kemanusiaan Indonesia. Puluhan penyandang difabilitas, yang sedang mengajukan permohonan SIM, juga menjadi peserta.
Berdasarkan data tahun 2003, jumlah difabel di Indonesia tercatat 2,8 juta. Khusus di Yogyakarta, jumlahnya di kisaran 29 ribu, di mana sekitar 700 orang di antaranya sedang mengajukan permohonan pembuatan SIM-D di Samsat Polda DIY. SIM-D adalah surat izin mengemudikan kendaraan khusus bagi penyandang keterbatasan fisik. (Baca: Kisah Sedih Difabel Pengagum SBY)
”Setiap orang mempunyai hak yang sama untuk berada di mana saja dengan bergerak atau bertransportasi. Tidak terkecuali para difabel, yang mencakup penyandang tunanetra, tunawicara, tunarungu, cacat tubuh, cacat mental, dan lainnya, termasuk penderita penyakit kronis seperti jantung atau stroke,” ujar Danang yang merupakan guru besar ilmu transportasi UGM.
Baca Juga:
Namun, Danang mengingatkan, siapa pun yang hendak melakukan perjalanan dengan mengemudikan kendaraan bermotor, ada beberapa persyaratan wajib (sufficient condition) yang harus dipenuhi. ”Selain memiliki SIM sesuai dengan kendaraannya, kendaraan yang dikemudikan juga harus lulus pengujian terhadap persyaratan teknis dan laik jalan yang dipersyaratkan,” tuturnya.
Dengan demikian, orang tersebut memenuhi aspek kepatuhan (legal) dan kepatutan (layak) untuk bergerak dengan mengendarai kendaraannya di luar syarat-syarat lain yang bersifat perlu (necessary condition). ”Persyaratan wajib itu sendiri mengacu ketentuan Pasal 77 (1) UU No. 22/2009 dan Pasal 77 (3) UU No. 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan,” kata Danang yang juga Ketua Umum Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI).
Dia tak memungkiri, kemajuan teknologi kendaraan telah banyak membantu pengemudi atau pengendara dengan keterbatasan fisik ini. Mulai dari menghasilkan kendaraan yang mudah digunakan oleh pengemudi dengan keterbatasan sampai dengan melakukan modifikasi khusus, termasuk untuk menurunkan batas kecepatan. ”Ringkasnya, teknologi kendaraan telah membuat pengguna dengan keterbatasan mampu menggunakannya dengan mudah,” kata Danang dalam siaran persnya.
Modifikasi kendaraan tetap harus memenuhi prinsip-prinsip passive safety (melindungi pengguna) dan memastikan kendaraan modifikasi tidak berbahaya bagi pengguna jalan yang lain. Salah satu prinsip passive safety adalah bentuk dan material modifikasi harus lolos uji modifikasi (tipe), yang ditandai dengan penerbitan surat keputusan pengesahan rancang bangun dan rekayasa.
Selain itu, sebagaimana diterapkan di beberapa negara, termasuk dalam modifikasi kendaraan bagi difabel adalah penggunaan cc mesin yang kecil untuk membatasi kecepatan kendaraan. ”Di luar negeri, modifikasi kendaraan untuk menurunkan batas kecepatan bahkan sudah menjadi syarat mutlak,” tegasnya. Namun, lanjut Danang, satu hal yang sering dilupakan, adalah pemenuhan kebutuhan ruang parkir untuk kendaraan modifikasi, yang notabene merupakan wujud nyata kesamaan hak bagi semua orang untuk bertransportasi.
UNTUNG WIDYANTO
Terpopuler:
Koalisi Prabowo Usulkan Pilpres oleh MPR Lagi
5 Argumen DPR Soal Pilkada DPRD yang Terbantahkan
Senin, WNI di New York Akan Demo RUU Pilkada