TEMPO.CO, Blitar: Sejumlah petani di Blitar, Jawa Timur, yang juga mantan tahanan politik Partai Komunis Indonesia menggelar rembuk bersama dengan aktivis pondok pesantren dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Mereka membahas teknik bercocok tanam demi kedaulatan pangan sebagai bentuk rekonsiliasi bangsa.
Pertemuan yang berlangsung malam ini, Selasa, 1 Oktober 2014, di sekretariat The Post Institute, Jalan Muradi, yang berdekatan dengan Istana Gebang diprakarsai oleh aktivis HAM Blitar. Mengusung tema memperkuat rekonsiliasi bangsa melalui ketahanan pangan, para aktivis berharap proses rekonsiliasi dengan korban gerakan 30 September bisa bergeser ke wilayah pertanian yang menjadi pekerjaan mereka sehari-hari. "Kita tak lagi bicara politik, tapi ril soal pertanian" kata Arif Aidit, aktivis The Post Institute yang memprakarsai rembuk bersama itu.
Menurut Arif, para korban peristiwa 1965 yang sebagian besar berprofesi sebagai petani masih kerap mengalami kesulitan dalam pekerjaan mereka. Karena itu dia menilai perlunya transformasi pengetahuan bercocok tanam untuk membangun pemberdayaan mereka secara ekonomi. Sebab selama ini kehidupan mereka sebagai petani di daerah terpencil telah mengisolasi dari perkembangan teknologi pertanian.
Selain menghadirkan tokoh pesantren dari Tebuireng Jombang dan Komnas HAM, acara itu juga dihadiri petugas penyuluh lapangan pertanian. Sehingga diharapkan para korban 30 September ini tak lagi menghadapi diskriminasi. "Sebab mereka sudah menjalani pemiskinan pasca-peristiwa 65," kata Arif.
Sukiman, mantan anggota Barisan Tani Indonesia yang merupakan underbow PKI mengaku senang dengan acara ini. Dia juga menilai gerakan pembangunan sektor agraria merupakan bentuk rekonsiliasi yang efektif. "Kami juga bisa berperan membangun ketahanan pangan nasional," katanya.
Sukiman juga berharap pemerintah bisa membantu menyelesaikan persoalan pertanian yang dihadapi pada petani di Blitar Selatan yang tengah menghadapi kekeringan. Di kawasan itu banyak sekali eks tapol yang kini bekerja menjadi petani. Mereka telah hidup rukun dengan masyarakat Nahdliyin dan membangun masjib bersama-sama.
Direktur The Post Institute Mawan mengatakan para petani bisa mengkonsultasikan kendala pertanian mereka kepada penyuluh lapangan di acara ini. Sehingga ketika pulang ke kampung mereka bisa menularkan ilmu pertanian ke sesama warga eks tapol. Sebab seharusnya negara memberi mereka kompensasi kerugian ekonomi pascapembantaian massal tahun 65.
HARI TRI WASONO
Baca juga:
Pejabat Bank Mutiara Jadi Sekper Bank Mandiri
Demokrat Ngotot Pemilihan Ketua DPR Malam Ini
Untuk Kesehatan, Risma Tertibkan Data Warga Miskin
SBY Klaim Jokowi Tawarkan Demokrat Bergabung