TEMPO.CO, Jakarta - Parlemen Australia meloloskan amandemen Undang-Undang tentang Keamanan Nasional yang dikhawatirkan mengancam kemerdekaan pers. Pasalnya, dalam amandemen itu diatur mengenai ancaman penjara lima hingga 10 tahun bagi siapa saja yang menyebarkan informasi perihal operasi khusus intelijen.
Amandemen ini dilakukan terkait dengan kebijakan Australia memperkuat keamanan nasional untuk menghadapi aksi terorisme. Seperti dilansir Russia Today, Rabu, 1 Oktober 2014, amandemen undang-undang ini juga melarang menggandakan, menulis kembali, atau menyimpan rekaman tentang aktivitas badan intelijen Australia (Australian Security Intelligence Organisation).
Australia tidak ingin mengulangi kasus bocornya dokumen Keamanan Nasional Amerika Serikat oleh mantan intelijen AS, Edward Snowden.
Laporan terkait dengan keamanan nasional dibatasi bersamaan dengan diperluasnya monitoring info melalui Internet. Hal-hal tersebut dilakukan guna meningkatkan keamanan nasional di tengah ancaman milisi ISIS yang kemudian menyebut diri Negara Islam.
Menteri Kehakiman Michael Keenan menyatakan hal ini dilakukan untuk pencegahan lolosnya informasi yang ditakutkan akan mempermalukan negara. Batasan informasi yang proporsional dirasa perlu untuk membuat komunikasi informasi dan urusan badan intelijen berjalan lancar.
Kritik keras datang dari Andrew Wilkie, mantan intelijen MP Federal. "Ini membatasi kebebasan berpendapat, ini membatasi pengawasan terhadap tujuan pemerintah," ujarnya.
Penolakan lain datang dari Adam Bandt, Wakil Ketua Greens, yang percaya bahwa badan intelijen juga dapat melakukan kesalahan. Menurut Bandt, jika peraturan ini dilaksanakan, bisa saja badan intelijen tidak sengaja membunuh narasumber tidak bersalah. Jurnalis tidak dapat menjalankan tugasnya.
Sayangnya penolakan oleh kritikus hukum yang merupakan kaum minoritas di Dewan Australia, tidak berarti apa-apa, mengingat undang-undang ini didukung oleh Partai Buruh, partai berkuasa.
The Committee to Project Journalists (CPJ) berkantor di New York, Amerika, khawatir dengan peraturan Australia yang baru. "RUU keamanan nasional Australia menimbulkan keprihatinan serius tentang ke mana arah Australia," kata koordinator program CPJ Asia, Bob Dietz.
"Undang-undang ini akan sangat menghambat kepentingan publik dan kami ingin anggota parlemen menambahkan pengamanan untuk wartawan dan whistleblower."
Perubahan peraturan ini dianggap kontroversial karena undang-undang ini sudah ada sejak 1979, dan sudah seharusnya di-upgrade untuk menghadapi ancaman terorisme. Perdana Menteri Tony Abbott telah memperingatkan sebelumnya bahwa perubahan kali ini bisa jadi diartikan sebagai sebuah pergeseran "keseimbangan antara kebebasan dan keamanan".
Pada pertengahan September 2014, Australia menaikkan waspada teror ke tingkat tertinggi kedua dalam menanggapi kegiatan ekstremis ISIS.