TEMPO.CO, Jakarta - Karateka Indonesia, Fidelys Lolobua, berhasil meraih medali perak nomor Kata Individual Asian Games 2014 di Gyeyang Gymnasium, Incheon, Korea Selatan, Kamis lalu, 2 Oktober 2014. Bagaimana suka duka perjuangannya? Berikut ini petikan perbincangan Tempo dengan Fidelys:
Seperti apa beban yang Anda rasakan sebelum menjalani pertandingan?
Bayangkan, saya baru bergabung dengan tim tiga bulan menjelang Asian Games. Saya juga dituntut untuk mempertahankan perolehan medali di nomor saya. Minimal saya harus meraih medali perunggu. Kepala Bidang Pembinaan dan Prestasi (Zulkarnaen Purba) juga bilang bahwa sayalah yang bakal menentukan apakah nomor Kata Individual akan dipertandingkan di Asian Games 2018. Kalau saya kalah, tidak ada peluang nomor ini dipertandingkan di Asian Games 2018 karena buat apa memberikan medali kepada negara lain di Asian Games 2018 nanti.
Saya baru bergabung tiga bulan menjelang Asian Games karena saya menggantikan rekan saya (Faisal Zainuddin) yang kalah di Premier League Federasi Karate Dunia di Jakarta, Juni lalu. Faisal tidak mendapat gelar di Premier League dan saya menjadi juara ketiga. Sesuai dengan rapat pleno PB Forki (induk cabang olahraga karate Indonesia), atlet yang kalah dicoret dan digantikan dengan yang lebih baik. Sebelum dipanggil untuk bermain di Asian Games, saya berlatih terus di Makassar dan hanya berkonsentrasi bermain di Premier League.
Semakin orang kawakan, semakin dia sadar banyak detail-detail kecil yang bisa menggagalkan penampilan seseorang. Kecemasan akan semakin tinggi. Sama dengan anggota Kopassus (Komando Pasukan Khusus) yang pernah bercerita pada saya. Semakin sering dia terjun payung, dia semakin takut lompat. Itu karena dia semakin mengetahui kemungkinan-kemungkinan kecelakaan yang disebabkan hal kecil. Sama dengan karate, kita tahu bahwa hal-hal kecil seperti perasaan, salah ngomong, nervous, bisa menyebabkan kekalahan. Kalau orang baru, dia cenderung tidak peduli--kalah-menang, pokoknya main saja.
Saya bahkan sempat mendaftar bahwa ada 50 hal yang bisa mempengaruhi pertandingan saya hari ini. Itu adalah celah-celah yang harus ditutup agar saya bisa berhasil, misalnya pemanasan harus begini, bangun tidur harus begini. Jangan sampai ada yang meleset.
Dan, saya sudah kehilangan satu poin. Sebab, tadi malam saya tidak bisa tidur. Mulai jam sembilan malam sampai jam empat pagi. Saya baru bisa tidur jam empat dan bangun jam enam. Saya tidak boleh tidur lagi karena jam 09.30 sudah mulai bertanding.
Selanjutnya: Pesan isti jadi pendorong
Bagaimana Anda mengatasi beban berat seperti itu?
Yang membuat saya bersemangat adalah tekad saya kepada keluarga. Sebelum berangkat, istri saya bilang kepada saya, "Kalau kamu pergi hanya untuk datang saja, lebih baik tidak usah pergi. Tapi, jikalau kamu memiliki target, saya akan dukung kamu." Saya pergi ke sini meninggalkan istri dan anak saya yang baru berumur 11 bulan. Jadi medali ini saya persembahkan buat anak saya yang tanggal 7 (Oktober) nanti akan berulang tahun.
Bukankah atlet yang memiliki beban besar bisa kehilangan fokus saat bertanding? Bagaimana Anda menjaga diri Anda untuk tetap fokus?
Begini. Jauh-jauh hari, saat masih di Indonesia, pengurus sudah membicarakan hal-hal sampai yang paling kecil soal pertandingan. Mereka mengadakan sesi untuk mendengarkan keinginan atlet. Misalnya, saya meminta pengurus tidak boleh mendekati atlet sebelum pertandingan selesai. Lalu saya juga minta tidak ditinggalkan pelatih. Siapa saja pelatihnya, yang penting ada pelatih yang mendampingi saya saat bertanding. Buat saya, (kehadiran) pelatih adalah kekuatan saya. Tanpa pelatih, saya bermain sendiri. Saya juga bilang bahwa saya tidak mau tahu seperti apa lawan saya nantinya. Saya tidak mau ditunjukkan undian lawannya. Saya juga tidak mau disanjung-sanjung sebelum pertandingan.
Saat berjalan ke matras pertandingan, saya tidak mempedulikan sorak-sorak fan yang memberi semangat dan ingin menyalami saya. Mereka menyodorkan tangan, tapi saya tidak mau menyambutnya. Saya tidak mau tersenyum juga. Kalau saya membalas sapaan mereka, pasti konsentrasi saya pecah. Tujuan mereka memang bagus, yaitu untuk memberi saya semangat. Tapi buat saya sendiri itu tidak bagus.
Saya memilih satu titik fokus saat saya berjalan menuju matras bertanding. Jadi, dalam imajinasi saya ada satu titik yang mengarahkan saya. Saya ikuti titik fokus itu sampai selesai bertanding. Saya membayangkan titik merah kecil. Titik itu tidak boleh lepas dari pandangan saya. Dalam hati saya mengulang kata-kata "tenang, rileks, konsentrasi." Titik itu yang saya ikuti terus sampai saya selesai bermain.
GADI MAKITAN (INCHEON)
Berita Lain
18 Tahun di Arsenal, Ini 5 Utang Wenger
Inilah Hasil Lengkap Pertandingan Liga Europa
Di Maria Pemain Terbaik MU Bulan September