TEMPO.CO, Jakarta - Asosiasi Antropologi Indonesia (AAI) menolak isi Rancangan Undang-Undang (RUU) Kebudayaan yang kini berada di tangan parlemen. RUU tersebut dinilai hanya memandang kebudayaan sebagai potensi ekonomi dan mengabaikan peran manusia dalam membentuk kebudayaan.
"Ide awal membuat RUU Kebudayaan ini sudah lain. Dalam undang-undang ini kebudayaan selalu dilihat sebagai potensi ekonomi. Kebudayaan sebagai praktek kehidupan sama sekali tidak dibicarakan. Inilah yang membuat kami menolaknya," kata Iwan Meulia Pirous, dosen Universitas Indonesia (UI), dalam perbincangannya di Jakarta kepada wartawan, di Jalan Nipah II, Jakarta Selatan, belum lama ini.
Baca Juga:
Iwan mengatakan dalam prakteknya kebudayaan sesungguhnya hal tersebut tak hanya menjadi domain kalangan antropolog saja. Kebudayaan seharusnya dipandang menjadi milik semua orang.
"Tapi ketika antropologi membicarakan kebudayaan, di sana sangat diperhatikan ruang dimana kebudayaan itu hidup. Singkatnya, kebudayaan itu harusnya dipandang sebagai strategi hidup,'' kata pria yang juga merangkap sebagai Ketua Aksi RUU Kebudayaan dari AAI ini. (Baca: Melihat Identitas Orang Dayak di Kayan Mentarang)
Adriani S. Soemantri menegaskan setidaknya ada ada tiga hal yang menjadi titik kritis AAI terhadap RUU Kebudayaan ini. Hal pertama terkait dengan persoalan menghargai keanekaragaman. Lalu, berkaitan juga dengan jati diri dan karakter bangsa. Fokus ketiga adalah persoalan kedaulatan bangsa.
"Tiga hal inilah yang menjadi daging dalam versi kami. Ketiganya menjadi hal yang sangat strategis dan ini bisa menguatkan kita sebagai bangsa yang berbudaya."
Terkait dengan usaha mengkritisi rancangan ini, Adriani mengatakan pihaknya telah melayangkan surat untuk bisa melakukan pertemuan dengan DPR. ''Kami juga mendesak agar rancangan ini bisa dihidupkan menjadi agenda prolegnas periode 2014-2019,'' ujarnya.
"Draft ketujuh ini juga tidak melibatkan antropolog," kata Dr Selly Riawanti, Ketua IV Bidang Riset AAI sekaligus pengajar antroplogi dari Universitas Pajajaran, Bandung. (Baca: Sandra Niessen, Pelestari Ulos dan Budaya Batak)
Draft ke-7 ini sangat berbau manajemen, dimasukkan ke dalam bidang pariwisata dan menjadi semacam komodifikasi atau semacam barang dagangan yang diperjualbelikan. "Padahal, kebudayaan bukan bersifat benda," kata Selly.
Asosiasi Antropologi Indonesia didirikan sekitar tahun 1997 dengan ketua umum Prof Dr Nusyirwan Effendi, Dr Fikarwin Zuska, Prof Dr Pawennari Hijjang, Dr Pinky Saptandari, Dr Selly Riawanti, Iwan Pirous, MA, Adriani Sumampow Soemantri, Arlina Arifin. dan Lamtiur H. Tampubolon, PhD.
EVIETA FADJAR
Berita Terpopuler:
Ditanya Hak & Kewajiban DPR, Anang Tak Bisa Jawab
Pengacara Artis Foto Bugil Kecam Google
Chris Martin Jadi Host Pada Ulang Tahun Paltrow
Tika Bisono Prihatin Saksikan Sidang Ricuh di DPR
Kericuhan di DPR,Ray Sahetapy:Biarlah Belajar Dulu