TEMPO.CO , Tangerang - Sekitar seratus orang memenuhi Resto Pecak Gabus, Jalan Aria Jaya Sentika, Kampung Sumur Pacing, Karawaci, Kota Tangerang, pada Sabtu, 4 Oktober 2014. Mereka terpecah dalam beberapa kelompok keluarga, pasangan kekasih, dan geng pertemanan.
Para pengunjung ada yang memilih duduk di kursi kayu bermeja oval berbahan kayu di rumah joglo atau lesehan di saung bambu beratap daun kelapa. Udara Tangerang yang cenderung panas menjadi sejuk oleh embusan angin semilir di lahan bernuansa kebun seluas 1 hektare itu.
Sejak memasuki rumah makan khas Betawi milik Haji Tubagus Mahdi Adiansyah itu, pengunjung sudah disuguhi aroma menggoda ikan gabus goreng dan bumbu pecak.
Manajer Resto Pecak Gabus Wiwid Surahmat mengatakan ikan yang nama ilmiahnya Channa striata itu diperoleh dari para pencari ikan di rawa dan sungai yang tersebar di Tangerang hingga Lampung. Adapun bumbunya merupakan perpaduan asam kandis, lengkuas, salam, kunyit, daun jeruk, jahe, daun serai, bawang merah-putih, dan cabai. “Juga ada tomat hijau, belimbing sayur, dan daun kemangi,” kata Wieid.
Selain pecak gabus sebagai menu unggulan, ujar dia, resto yang berdiri sejak Desember 2012 itu menyediakan makanan pendamping. Makanan pendamping itu di antaranya gecok aneka ikan, jantung pisang kepala kakap, tumis pisang batu, cah kangkung belacan, dan tomyam kelapa muda. Minumannya antara lain teh tawar, jus, dan bir pletok.
Itu sebabnya, meski sajian kulinernya bercita rasa Betawi, pengunjungnya datang dari berbagai suku. “Rasanya bisa diterima orang Betawi maupun bukan Betawi,” kata pengunjung resto, Ciptadi, warga Tigaraksa.
Haji Tubagus Mahdi Ardiansyah menuturkan dirinya membuka resto dengan ikon ikan gabus ini berawal dari kegusarannya saat menyaksikan makanan khas betawi makin lenyap. “Kalaupun ada yang menjual pecak gabus, rasanya tidak khas Betawi, tak senikmat buatan enyak saya, Hajah Ayuni Kimung,” ujar Mahdi.
Karena itu, mantan anggota DPRD Kota Tangerang itu bertekad melestarikan sajian kuliner Betawi dengan cara membuka rumah makan. Mahdi pun menyulap kebunnya menjadi Resto Pecak Gabus.
Menurut Mahdi, pecak gabus merupakan warisan leluhur nenek moyang orang Betawi yang hidup di dataran rendah berawa-rawa dan sungai-sungai yang airnya tak pernah surut, meski pada musim kemarau. Satu di antara sungai itu adalah Sungai Cisadane.
Tokoh masyarakat Tangerang berusia 53 tahun itu mengenang masa kecilnya saat gemar mencari ikan bersama teman-temannya di kalenan, sungai, dan rawa. “Biasanya, kami dapat ikan, terutama gabus,” ujarnya.
Ikan predator yang kepalanya mirip kepala ular itu dibakar di atas api dapur dan diberi bumbu pecak. “Kalau ada encang, encing, atau saudara dekat, pecak gabus menjadi sajian keluarga,” tutur Mahdi.
AYU CIPTA
Berita lain:
Kenali Enam Tanda Wanita yang Butuh Seks
Habib Selon Ogah Komentari Aksi FPI
Koalisi Prabowo Diklaim Dukung Perpu Pilkada
Kasus Batam, Moeldoko: Jangan Asal Komentar