TEMPO.CO, Jakarta - Pengelolaan olahraga di Indonesia yang saat ini ditangani oleh Menteri Pemuda dan Olahraga, Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI), dan Komite Olimpiade Indonesia (KOI) perlu dievaluasi. Koordinasi di antara ketiga lembaga itu perlu diperbaiki demi kemajuan olahraga Indonesia.
Dalam Asian Games XVII di Incheon, Korea Selatan, yang berakhir Sabtu lalu, kontingen Indonesia gagal memenuhi target, yaitu meraih 9-10 emas untuk bisa masuk 10 besar. Dengan meraih 4 emas, 5 perak, dan 11 perunggu, Indonesia menempati urutan ke-17 dari 37 negara yang meraih medali. Negeri tetangga, Malaysia dan Singapura, pada urutan ke-14 dan 15 dengan dukungan 5 emas. Adapun Thailand jauh di atas, pada urutan ke-6 dengan 12 emas.
Ketua Bidang Pembinaan dan Prestasi Pengurus Pusat Pengurus Bulu Tangkis Seluruh Indonesia, Rexy Mainaky, mengatakan saat ini pihaknya mengalami kebingungan soal koordinasi dengan tiga lembaga tersebut.
"Sekarang, ketika saya mau minta pelatih fisik yang begini-begini, Menpora ada, KONI ada, KOI juga ada. Kalau kita pakai yang ini, yang lain marah," kata Rexy saat ditemui seusai diskusi olahraga nasional bertajuk “Ayo Bangkit Olahraga Indonesia” di gedung Kompas Gramedia, Palmerah, Jakarta, kemarin.
Kedudukan KONI, KOI, dan Menpora, menurut Rexy, seharusnya sudah jelas. Dia mengatakan sebaiknya tidak perlu ada Satuan Pelaksana Program Emas atau semacamnya. Untuk urusan sehari-hari, keluhan dari Pengurus Besar cabang olahraga itu langsung disampaikan ke KONI.
Nantinya, Rexy melanjutkan, KONI yang berkoordinasi dengan Menpora mengenai apa saja kebutuhan yang diajukan oleh cabang-cabang olahraga.
Untuk persiapan ke kejuaraan multicabang internasional, menurut Rexy, barulah KOI yang mengurusi. "Kita ribet (tumpang-tindih) di situ, KONI-KOI-Menpora ribut saja," ujarnya. “Nanti hasil evaluasinya, kita lapor ke KONI.”
Pelatih renang nasional Albert Sutanto juga melontarkan kritik terhadap pemerintah terkait dengan pengurusan olahraga menjelang Asian Games 2014. Menurut dia, kebijakan pemerintah dalam hal pemberian jatah uji coba perlu dievaluasi.
Pemberian jatah uji coba bagi setiap cabang olahraga, kata Albert, seharusnya tidak disamaratakan karena kebutuhannya berbeda. "Yang kami harapkan itu pemerintah mengakomodasi masing-masing cabang olahraga, bukan dibuat general. Kok, semua cabang olahraga try out cuma dua kali, sementara di sebagian cabang olahraga itu, kan, berbeda-beda," ujarnya.
Menurut Albert, untuk cabang olahraga yang mempunyai banyak pertandingan, seperti renang, jatah uji coba lebih dari dua. "Di renang itu, pertandingannya ‘gila’ banyaknya. Kalau kita hanya dapat dua kali pertandingan, itu minim," katanya.
Persiapan menjelang kompetisi, kata Albert, idealnya sepuluh kali. Pertimbangannya, sebelum bertanding pada kejuaraan sesungguhnya, perlu mengecek apakah strategi yang diterapkan sudah sesuai. Apalagi pada renang, menurut dia, banyak kesulitannya.
Albert mencontohkan kasus atlet asuhannya, I Gede Siman Sudartawa, yang gagal menyabet perunggu dalam Asian Games 2014.
Pada saat itu, Siman hanya selisih 0,18 per 100 detik dari atlet yang meraih perunggu. Siman kalah sejak awal dan arah renangnya agak miring. "Kalau kekalahan itu karena kurangnya faktor pertandingan, itu rasanya sakit sekali," ujar Albert.
Bila Siman mendapatkan jatah uji coba lebih banyak, Albert yakin kesalahan tersebut bisa diperbaiki sejak awal sehingga tidak terjadi pada saat pertandingan. Walaupun gagal menyabet perunggu sesuai target, Albert tidak menyalahkan Siman. "Dia sudah maksimal."
RINA WIDIASTUTI
Berita Lain
Sikat Everton, MU Masuk Empat Besar Liga Premier
Chelsea Tekuk Arsenal, Courtois Diungsikan ke RS
Derby Bandung, Bepe cs Buru Poin Sempurna