TEMPO.CO , Jakarta - VP Corporate Communications Citilink, Benny S. Butarbutar, mengatakan kabut asap di Sumatera dan Kalimantan mengganggu ritme penerbangan. Karena itu, kata dia, diperlukan upaya bersama pemerintah pusat dan daerah untuk menanggulanginya. "Masalah klasik, setiap tahun yang belum ada jalan keluarnya," kata dia kepada Tempo, Sabtu, 11 Oktober 2014.
Menurut Benny, kabut asap di Sumatera dan Kalimantan sudah mengkhawatirkan. Dampaknya penerbangan menjadi lebih lama karena pilot butuh waktu untuk menyesuaikan rute maupun pendaratan. Bahkan dalam beberapa kejadian, kata Benny, pilot terpaksa balik arah untuk menghindari kejadian yang tidak diinginkan. "Kalau memang membahayakan terpaksa kami kembali," ujarnya. (Baca: Kabut Asap Masih Banyak dari Sumatera Selatan).
Kabut asap, kata Benny, diperparah dengan kondisi beberapa bandara yang tidak memiliki peralatan lengkap.Benny mencontohkan Palembang dan Pekanbaru sudah memiliki alat pengontrol pendaratan, namun tidak dengan Jambi. "Padahal alat itu penting untuk memberikan sinyal kepada pilot," katanya.
Namun, Benny mengatakan dalam kondisi force majeure Citilink tidak mengembalikan tiket penumpang meski pesawat yang mereka tumpangi balik arah. Citilink hanya memberikan akomodasi selama perjalanan. "Aturanya seperti itu, sehingga diperlukan kesadaran dari penumpang." (Baca: Kabut Asap Sambut Jemaah Haji di Palembang ).
Sebelumnya, dua pesawat Garuda Indonesia, GA 170 dan QG 936 jurusan Jakarta-Pekanbaru, terpaksa berputar-putar di udara hingga 30 menit akibat landasan yang tertutup asap. Jarak pandang pilot hanya 1.000 meter, padahal batas minimum landing sistem minimal 1200 meter.
JAYADI SUPRIADIN
Berita Terpopuler
Kata Prabowo Soal Wawancara Hashim Djojohadikusumo
Jadi Biang Walk-Out, Ini Sanksi SBY Buat Nurhayati
AJI Minta Hashim Buktikan jika Ada Berita Keliru