TEMPO.CO, Makassar - Penolakan terhadap Undang-Undang Pilkada masih muncul meski Presiden SBY telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Pilkada. Penolakan UU Pilkada kali ini datang dari Solidaritas Perempuan.
Ketua Solidaritas Perempuan Wahidah Rustam menegaskan pengesahan RUU Pilkada merupakan ancaman serius bagi proses demokrasi di Indonesia. Alasannya, UU Pilkada mengatur pilkada diserahkan kepada DPRD sesuai tingkatan masing-masing.
"UU Pilkada ini menjadi bukti nyata atas kemunduran proses demokrasi di Indonesia. Pemilihan tidak langsung merupakan bentuk pembatasan terhadap hak politik rakyat, baik perempuan maupun laki-laki," tutur Wahidah saat berunjuk rasa bersama massa Solidaritas Perempuan di Gedung DPRD Sulawesi Selatan, Senin, 13 Oktober 2014.
Wahidah menambahkan, pengesahan RUU Pilkada sangat jelas membatasi rakyat untuk mengenal dan menentukan pimpinan yang diyakini dapat membawa kepentingan. Termasuk menghilangkan ruang dan hak politik perempuan untuk akses langsung terhadap pengambilan keputusan.
"Hak yang seharusnya dipenuhi, dilindungi, dan diperkuat justru dikurangi. Sama halnya dengan akses perempuan untuk terlibat di dalam pengambilan keputusan yang selama ini sangat terbatas juga dihilangkan," katanya.
Wahidah menuturkan bahwa elite politik berhasil mengubah Undang-Undang tentang MPR, DPD, dan DPRD (UUMD3) yang mengarah pada penguasaan di parlemen. Kemudian perubahan undang-undang tersebut juga menghapus seluruh ketentuan yang menyangkut keterwakilan perempuan, salah satunya kuota 30 persen keterwakilan di lembaga legislatif.
"Meski Mahkamah Konstitusi telah membatalkan hal tersebut, upaya itu memperlihatkan perspektif anggota DPR yang tidak sensitif dan responsif gender," dia menjelaskan. Wahidah mengungkapkan upaya anggota Dewan untuk menghilangkan hak politik perempuan sangat terlihat dalam dua kebijakan yang baru disahkan. Yakni hak memilih dan menentukan langsung pemimpin daerahnya.
"Perempuan semakin tidak punya ruang untuk menyampaikan pandangan dan menentukan pemimpin daerah atas keputusan politiknya. Padahal, sejak pilkada dilakukan secara langsung, pendidikan politik dan pemberdayaan perempuan semakin menguat," ujarnya.
Tidak hanya itu, Wahidah melanjutkan, sejak pemilihan kepala daerah secara langsung, tidak kurang dari 19 perempuan menjadi pemimpin di daerah masing-masing, baik berposisi sebagai bupati/wali kota, wakil bupati/wakil wali kota, maupun gubernur dan wakil gubernur.
"Makanya kami mendesak MK mengabulkan permohonan pembatalan UU Pilkada. Kemudian kami mengajak seluruh elemen masyarakat, khususnya perempuan, untuk bersatu dan menyuarakan perlawanan atas penghilangan hak politik rakyat," katanya.
ARDIANSYAH RAZAK BAKRI
Topik terhangat:
Mayang Australia | Koalisi Jokowi-JK | Kabinet Jokowi | Pilkada oleh DPRD
Berita terpopuler lainnya:
Pengganti Ahok Mantan Koruptor, Ini Kata Gerindra
Video Penganiayaan Murid SD di Bukittinggi Beredar
Gerindra Usut Pengkhianatan Kadernya di Pilpres