TEMPO.CO, Bandung - Kelompok Agritektur di Bandung menggelar pasar kecil setiap Selasa dan Sabtu pagi untuk membangkitkan petani lokal. Jenis sayurannya tak sebanyak di pasar tradisional, tapi harganya bisa lebih murah dibanding harga sayuran di supermarket. (baca juga berita: Sebuah Katalog Lengkap 50 Kreator Bersinar Indonesia)
Pasar mini dengan dua meja panjang berkain taplak itu hanya buka pada pukul enam hingga sembilan pagi di halaman toko di Jalan Matraman 8, Bandung. "Sayurannya seperti siomak, kailan, lettuce, jamur, kabocha, sukini, kasbi, brokoli," kata Lily Meilani, koordinator pasar yang dimanai Pasar Para Petani (Parapa) itu, Selasa, 14 Oktober 2014.
Jenis sayuran lain yang dikemas ala Jepang dengan kostum tokoh film Doraemon pada Sabtu lalu, antara lain, timun, terong, dan bayam jepang. Ada pula tanaman herbal, seperti rosemary, mint, origano, dan secang.
"Kalau sayuran umum seperti di pasar, peminatnya di sini kurang," kata Lily, anggota kelompok Agritektur. Dengan menjual sayuran "aneh" tersebut, mereka juga hendak mengenalkan aneka ragam sayuran produksi lokal ke kalangan ibu rumah tangga kelas menengah.
Dibanding di supermarket, hasil produksi petani di Ciburial, Kabupaten Bandung, itu harganya lebih murah Rp 1.500-4.000 karena sayuran dibeli langsung dari petani. Sudah ada tiga mitra petani Agritektur sejak kelompok yang dibentuk akhir 2012 itu membuka lapak sayur dan herbal pada awal 2013.
Salah seorang pendiri Agritektur, Robbi Zidna Ilman, mengatakan nama kelompoknya itu terkait dengan latar belakang pendidikan lima pembentuknya. Ada yang lulusan Arsitektur ITB. Ada pula yang punya almamater Agribisnis dan Ekonomi Universitas Padjadjaran. Mereka sendiri punya bisnis utama bernama Grow Box--kotak kardus berisi jamur tiram untuk budi daya di kamar tidur atau meja kantor. (baca juga berita: Arsitektur Indonesia Tidak Didikte Eropa) "Kami ingin mendukung petani dan sayuran lokal untuk melawan sayuran impor," ujarnya.
Bagi Agritektur, yang kini beranggotakan 30 orang, sayur impor hanyalah jalan pintas pemerintah untuk memenuhi target ketersediaan pangan. "Asal usul sayurannya tidak jelas, harganya mahal karena ongkos distribusi yang panjang, serta boros energi pengangkutan dari negara lain," ucap Robbi.
Selain itu, Parapa mereka jadikan ajang interaksi langsung antara petani dan konsumen. "Cara menanam dan gunanya bisa tanya langsung ke petani," kata Robbi.
ANWAR SISWADI
Terpopuler
Tanpa Bra, Apakah Payudara Perempuan Lebih Sehat?
Kim Kardashian Rayakan No Bra Day
80 Persen Anak Alami Gangguan Mata karena Gadget
Darmin Nasution Berbisnis Tas