TEMPO.CO, Jakarta - Minimnya sentimen positif dari pasar global membuat dolar masih perkasa terhadap mata uang Asia.
Akibatnya, menurut ekonom PT Samuel Aset Manajemen, Lana Soelistianingsih, rupiah masih akan stagnan di kisaran 12.200 per dolar Amerika Serikat. Belum ada katalis positif yang mampu melepaskan rupiah dari cengkeraman dolar AS. "Merosotnya harga komoditas dan pemangkasan outlook ekonomi Jerman membuat dolar menguat," katanya, Rabu, 14 Oktober 2014. (Berita lain: Warga Antre di Pembukaan Toko Perabot IKEA)
Lana menambahkan, pasar global masih kelebihan pasokan komoditas. Produksi yang ada tidak ditopang oleh permintaan dari negara-negara Eropa dan Cina serta ada pembatasan impor Cina. Akibatnya, harga komoditas tambang dan CPO merosot beberapa hari terakhir.
Di sisi lain, Menteri Ekonomi Jerman baru saja mengumumkan pemangkasan outlook pertumbuhan ekonominya dari 1,8 persen year-on-year menjadi 1,2 persen year-on-year untuk tahun 2014. Proyeksi turun ini membuat indeks investasi dan ekspektasi analis turun dari 6,9 pada September menjadi minus 3,6 pada Oktober. "Jika kondisi ini berlanjut, Jerman bisa dimasukkan ke dalam kategori resesi," kata Lana.
Perlambatan ekonomi Jerman terjadi, antara lain, akibat sanksi ekonomi ke Rusia. Rusia merupakan mitra dagang utama Jerman. Kondisi ini mungkin memaksa Jerman menyetujui program stimulus bank sentral Uni Eropa (ECB) yang selama ini ditolak. (Berita lain: Lion Air Lengkapi Bandara Halim dengan Monorel)
Di transaksi pasar uang hingga jeda siang, rupiah merosot 10 basis point (0,08 persen) ke level 12.215 per dolar AS. Mata uang Asia lainnya juga melemah terhadap dolar. Rupee India melemah tajam 0,52 persen, yuan merosot 0,06 persen, dolar Singapura melemah 0,10 persen, dan ringgit tergelincir 0,24 persen.
PDAT | M. AZHAR
Terpopuler:
KPK: Jokowi Clear!
KPK Sebut Jokowi Tak Punya Rekening di Luar Negeri
Ngopi Bareng Ical, Ini Isi Pebincangan Jokowi
Dugaan Korupsi Solo, KPK: Jokowi Clear