TEMPO.CO, Jakarta - Koordinator hotline Samsara, Naila N.K, dan konselor Samsara, Firnanda Hesti W., mengajukan hak jawab dan koreksi terhadap berita yang dimuat Tempo.co bertajuk “70 Persen Remaja Mengakses Layanan Aborsi”. Berita itu dimuat pada Ahad, 12 Oktober 2014. Samsara adalah organisasi non-pemerintah yang berfokus pada pemenuhan hak reproduksi. (Baca: 70 Persen Remaja Mengakses Layanan Aborsi)
Naila keberatan karena Tempo dinilai tidak mengkonfirmasi bahwa materi yang dia ungkap dalam sebuah diskusi di Yogyakarta menjadi sumber tulisan. Pada hari itu, Ahad, 13 Oktober 2014, Naila memang menjadi pembicara dalam diskusi bertajuk “Media dan Aborsi” yang digagas oleh Aliansi Jurnalis Independen Yogyakarta. Dalam diskusi tersebut, Firnanda juga hadir.
Menjawab keberatan itu, Tempo memuat materi diskusi tersebut dengan pertimbangan bahwa diskusi itu merupakan diskusi publik yang sifatnya terbuka. Lantaran penyelenggaranya adalah organisasi profesi jurnalis AJI, maka sebagian pesertanya adalah jurnalis. Sejak awal hingga akhir diskusi, narasumber tidak menyatakan off the record atau background terhadap materi yang disampaikan. Oleh sebab itu, Tempo menuliskan beritanya karena informasi dalam diskusi tersebut penting dan bermanfaat untuk disampaikan kepada publik.
Naila juga keberatan dan menolak kutipan dalam kalimat “Koordinator hotline Samsara, Naila N.K., mengatakan remaja yang mengalami kehamilan tidak diinginkan melakukan hubungan seksual atas dasar mencari pengalaman.” Menurut Naila, kutipan dalam diskusi tersebut dipenggal sehingga tidak menjelaskan konteks yang sebenarnya.
Dalam hal ini, Tempo menuliskan penjelasan ihwal mengapa remaja melakukan hubungan seksual atas dasar mencari pengalaman. Secara lebih lengkap, inilah kutipan dalam berita itu: “Koordinator hotline Samsara, Naila N.K., mengatakan remaja yang mengalami kehamilan tidak diinginkan melakukan hubungan seksual atas dasar mencari pengalaman. Mereka tidak mendapatkan pendidikan kesehatan reproduksi secara baik dan merata. "Mereka selama ini mendapat stigma buruk tanpa dipikirkan bagaimana supaya mereka mendapat pendidikan kesehatan reproduksi," katanya, Ahad, 12 Oktober 2014.
Keberatan lain yang disampaikan Naila berkaitan dengan kalimat, “Rekomendasi WHO itu di antaranya aborsi dilakukan di rumah dengan menggunakan obat yang aman. Sedangkan aborsi melalui bantuan dokter atau tenaga ahli di Indonesia belum dilegalkan. Aborsi berbeda dengan pembunuhan janin. Aborsi terjadi jika pengguguran dilakukan terhadap kandungan yang berumur 12-14 pekan. Jika kandungan sudah berupa janin berumur lebih dari 14 pekan, pengguguran itu masuk dalam kategori pembunuhan. "Ketika janin dikeluarkan dari rahim dalam kondisi masih hidup, itu merupakan pembunuhan," kata Naila.”
Untuk melengkapi bahan tulisan, Tempo menulis kalimat tersebut dengan merujuk pada ketentuan bahwa Indonesia secara umum belum melegalkan aborsi. Aborsi legal hanya untuk kondisi tertentu. Hal itu sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi. Salah satu poin peraturan pemerintah yang baru ini menegaskan bahwa tindakan aborsi hanya dapat dilakukan berdasarkan indikasi darurat medis atau kehamilan akibat pemerkosaan.
Ihwal umur aborsi, sesuai ketentuan Badan Kesehatan Dunia (WHO), sesuatu dikatakan aborsi apabila kandungan berumur 12-14 pekan. Sedangkan pada umur 13 minggu-24 pekan adalah proses aborsi di dalam rahim. Sesuatu bisa dikatakan sebagai pembunuhan apabila janin dikeluarkan dari rahim, tapi masih hidup. Paragraf yang ditulis Tempo dalam berita tersebut ingin menjelaskan perbedaan definisi antara aborsi dan pembunuhan.
Keberatan juga disampaikan berkaitan dengan paragraf ini, "Saking traumanya, ada perempuan yang menelepon Samsara, tapi hanya terdengar tangisnya tanpa mengucap sepatah kata," katanya.
Menurut Samsara, konteks munculnya kutipan ini adalah ketika Firnanda Hesti W membagikan stiker kepada peserta diskusi. Beberapa orang dari peserta menanggapi ekspresi gambar di dalam stiker tersebut. Firnanda menjelaskan bahwa ekspresi-ekspresi tersebut menggambarkan beragamnya ekspresi klien yang menghubungi Samsara. Dalam hal ini, Firnanda keberatan dan menilai kalimatnya didramatisir.
Tempo menuliskan kalimat tersebut untuk menunjukkan fakta bahwa ada perempuan yang mengalami kehamilan tidak direncanakan dan mengalami trauma. Perempuan itu menangis ketika mengakses layanan konseling Samsara lewat telepon. Tidak ada iktikad buruk atau mendramatisasi dalam penulisan kalimat tersebut.
Terima kasih.
REDAKSI