TEMPO.CO, Yogyakarta - Meski Daerah Istimewa Yogyakarta mendapat anugerah sebagai Kota Batik Dunia oleh Dewan Kerajinan Dunia (World Craft Council/WCC) pada 18 Oktober, regenerasi pembatik menjadi kendala. Mayoritas pembatik berusia tua, sedangkan yang masih muda tak banyak yang tertarik membatik.
Kondisi tersebut menjadi tantangan DIY untuk mempertahankan batik sebagai warisan dunia. “Selama kehidupan pembatik tidak semakin baik, yang muda tidak akan mau menjadi pembatik. Yang membatik yang tua-tua saja,” kata Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono X saat ditemui di Kepatihan Yogyakarta, Selasa, 21 Oktober 2014. (Baca juga: Solo Diusulkan Jadi Kota Kreatif Dunia)
Salah satu solusi yang disampaikan Sultan adalah memberikan insentif kepada pembatik dengan menggunakan dana keistimewaan DIY. Dana tersebut diambil dari pos kebudayaan. Menurut Sultan, jika bantuan dana diambil lewat dana keistimewaan, tidak akan menjadi masalah.
Sultan berharap batik-batik yang sudah digarap pengrajin di desa-desa bisa terus tumbuh dan berkembang. Apalagi pengrajin batik berada di perkampungan dalam bentuk industri rumah tangga.
Sementara itu, pemberian penghargaan Kota Batik Dunia baru kali pertama dilakukan. Penghargaan tersebut diterima oleh perwakilan Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) DIY Gusti Kanjeng Ratu Pembayun dalam peringatan hari jadi ke-50 WCC di Dongyang, Korea Selatan. Sultan membenarkan bahwa DIY semula ikut mendaftarkan mewakili Indonesia dan telah ada tim WCC yang datang melakukan penilaian. DIY berhasil mengalahkan enam negara kontestan dari Asia-Pasifik.
“Karena, kan, banyak negara yang mempunyai kerajinan batik. Penghargaan itu sebagai penghormatan Indonesia sebagai negara asal batik,” kata Ketua Dekranasda Kota Yogyakarta Tri Kirana Muslidatun.
Tim penilai datang sekitar sebulan lalu. Mereka melakukan peninjauan di beberapa kampung batik, yaitu Kota Gede, Ngasem, dan Badran. Penilaian yang diberikan antara lain tentang peran pemerintah dan lembaga kerajinan dalam mengembangkan, memberikan bantuan dana dan pelatihan, serta pemasaran kepada pengrajin batik.
Hingga kini ada sekitar 80 pengrajin batik yang masih bertahan di Yogyakarta. Mereka juga melestarikan motif-motif batik kuno hingga sekarang. “Misalnya, motif kawung. Motif-motif tradisional itu dari Keraton,” kata Tri Kirana.
PITO AGUSTIN RUDIANA
Berita lain:
Semalam, Jokowi Panggil 43 Calon Menteri
Ini Cara Mendeteksi Batu Akik Palsu
Jokowi Dilantik, Lurah Ini Malah Mengundurkan Diri