TEMPO.CO, Jakarta - Para pelajar di Jepang sering mendapatkan pelatihan untuk mengantisipasi bencana alam, seperti gempa dan tsunami. Salah satu materi pelatihan yang sudah diajarkan sejak tingkat sekolah dasar adalah cara membaca peta dan arah menuju tempat evakuasi. Materi pelatihan itu dinilai bisa mendukung upaya evakuasi yang biasanya berlangsung cepat dalam situasi darurat.
Aiko Sakurai, peneliti dari International Research Institute of Disaster Science, Tohoku University, Jepang, mengatakan sekolah adalah basis pelatihan yang sangat berguna untuk mengantisipasi bencana alam. Saat bencana datang, peluang terjadinya kepanikan sangat besar, sehingga sangat penting untuk membekali anak-anak dengan pelatihan khusus.
"Anak-anak sekolah dasar diajari membaca peta. Paling tidak mereka tahu cara membaca arah utara dan selatan," kata Sakurai dalam International Workshop and Expo on Sumatra Tsunami Disaster and Recovery di Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, Kamis, 23 Oktober 2014.
Para pelajar juga diajari cara mencari tahu dan berbagi informasi penting ketika bencana melanda. Menurut Sakurai, pertukaran informasi di antara masyarakat itu sangat penting karena membantu proses evakuasi ketika bencana terjadi. "Kepanikan bisa diminimalkan ketika ada informasi yang jelas," katanya. (Baca juga: Tugu Peringatan Bantu Obati Trauma Korban Tsunami
Jepang adalah negara yang kerap dilanda gempa. Saking seringnya gempa terjadi, warga Jepang menganggapnya seperti kejadian biasa. Namun mereka tidak pernah mengabaikan sinyal peringatan apa pun. "Kerap terjadi ketika duduk santai mengobrol di kafe lalu terjadi guncangan, kondisinya pasti langsung senyap beberapa saat. Kami menunggu sinyal. Jika tidak ada, kegiatan bisa dilanjutkan seperti biasa," kata Sae Shikita, mahasiswa program master dari Department of Urban Engineering University ofTokyo kepada Tempo.
Shikita mengatakan warga Jepang memantau perkembangan gempa melalui aplikasi yang dipasang pada telepon seluler. Lewat aplikasi itu, mereka mendapatkan informasi tentang kekuatan dan pusat gempa yang tengah terjadi. "Tinggal lihat ponselmu, tunggu sejenak, apakah ada tanda bahaya atau tidak. Yang penting, jangan panik," ujarnya. (Baca juga: Soal Bencana, SBY Minta Indonesia Belajar dari Jepang)
Sri Adelila Sari, spesialis dari Tsunami and Disaster Mitigation Research Center Unsyiah, mengatakan pelatihan simulasi perlu dibiasakan terhadap anak-anak, terutama yang tinggal di daerah rawan bencana. Sri dan timnya pernah meneliti implementasi pendidikan kebencanaan di satu sekolah dasar di Pulo Breuh, Aceh Besar. "Wilayah itu sangat rentan terhadap dampak gempa karena posisinya dekat dengan patahan lempeng benua," kata Sri.
Menurut Sri, murid sekolah dasar kelas V dan VI adalah yang paling cocok diberi pelatihan simulasi bencana karena mereka lebih mudah berinteraksi. "Para pelajar kelas V dan VI juga paling antusias melakukan pelatihan," ujarnya.
Pelajar yang mendapatkan pelatihan simulasi bencana itu bisa menyebarkan informasi itu kepada kawan-kawannya yang lebih muda. "Sosialisasi antisipasi bencana juga mudah disebarkan di tengah masyarakat," ujar Sri.
GABRIEL WAHYU TITIYOGA
Berita Terpopuler:
KPK: Banyak Calon Menteri Jokowi Bermasalah
PDIP: tanpa Restu Mega, Jangan Mimpi Jadi Menteri
Jokowi Batal Umumkan Kabinet Hari Ini