TEMPO.CO, Malang - Suyono masih terus menggerutu. Di Ranu Darungan dari pagi hingga menjelang sore, gabus atau lele tak sekali pun menyambar umpan pancingnya. Untungnya ia tidak kepanasan karena banyak pepohonan di sekitarnya.
Ia menduga ikan makin susah didapat karena air danau di dalam kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) itu menyusut drastis pada musim kemarau. Akibatnya, hampir seluruh dasar danau kelihatan kering dan mengeras sampai bisa dimasuki sepeda motor milik Suyono dan kawan-kawan. (Baca juga: Harimau Jawa Masih Tersisa di Ranu Tompe?)
"Kalau pas musim hujan, sepeda motor kami diparkir di tepian dan kami tidak bisa memancing sampai di tengah danau karena airnya penuh," kata Suyono, 40 tahun, kepada Tempo, Kamis pekan lalu.
Suyono adalah warga Dusun Darungan, Desa Pronojiwo, Kecamatan Pronojiwo, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur. Danau di dusunnya itu merupakan satu dari enam danau di dalam kawasan TNBTS. Lima danau yang lain yakni Ranu Pani, Ranu Regulo, Ranu Kumbolo, Ranu Tompe, dan Ranu Pakis alias Ranu Kuning. (Lihat juga: Ekspedisi ke Danau Misterius Semeru, Ranu Tompe)
Ranu Darungan diperkirakan dibuat oleh pemerintah kolonial Belanda untuk kepentingan konservasi anggrek dan tanaman obat. Dugaan Ranu Darungan merupakan danau buatan diindikasikan dari pilar-pilar besar bekas bangunan bergaya kolonial di dekat danau. Diduga, dulu ada rumah besar yang menjadi pusat penelitian botani.
Berada di ketinggian 830 meter dari permukaan laut, danau seluas 0,25 hektare itu hampir selalu mengalami kekeringan pada musim kemarau. Namun, sebenarnya, secara alamiah musim kemarau tidak terlalu berpengaruh terhadap kondisi fisik danau.
"Kekeringan di Ranu Darungan murni karena pembagian air yang tidak sebanding antara air yang masuk ke danau dan air yang dialirkan ke permukiman penduduk," kata Mahmudin Rahmadana, Kepala Resor Darungan Seksi Pengelolaan Taman Nasional (PTN) Wilayah IV Pronojiwo Bidang PTN II Lumajang, kepada Tempo, Selasa sore, 21 Oktober 2014.
Mahmudin menjelaskan, pada musim hujan, air Ranu Darungan berasal dari lima sumber di dalam kelebatan hutan. Jumlah sumber air berkurang menjadi tiga pada musim kemarau. Air bening sejatinya mengalir lancar dari dalam hutan. Bila air memenuhi seluruh danau, titik terdalamnya lima-sepuluh meter.
Mahmudin mengajak Tempo masuk lebih jauh ke dalam hutan. Dari pengamatan Tempo, sekitar 150 meter dari ujung danau, tepatnya di lereng bukit berhutan, terdapat tandon air warisan perusahaan daerah air minum (PDAM) Lumajang. Karena penduduk ogah membayar rekening air, PDAM terus merugi sampai akhirnya tandon ditinggalkan dan instalasi pipa dimanfaatkan penduduk untuk mengalirkan air ke rumah-rumah mereka.
Masalahnya, kata Mahmudin, diduga ada beberapa warga yang sengaja menutup aliran air ke danau dan mengalihkan air ke permukiman. Daripada ribet dan ribut, akhirnya dicapai kesepakatan mengenai pembagian air dengan Balai Besar TNBTS yang diwakili Resor Darungan. Sekitar 80 persen air dialirkan ke permukiman penduduk dan sisanya dialirkan ke danau. Namun, seperti yang terlihat, hampir tidak ada air sama sekali yang mengalir ke danau.
"Cerita soal pembagian air itu sudah terjadi puluhan tahun. Kami akan carikan solusinya hingga ada perubahan pembagian air," kata Mahmudin, penyuluh kehutanan yang bertugas di Resor Darungan sejak Agustus lalu. Pembagian air yang dimaksud minimal 40 persen untuk Ranu Darungan. Akan lebih baik lagi jika masyarakat mau berbagi 50:50 jatah air.
Porsi pembagian air yang berlaku sekarang dirasa tidak adil bagi satwa penghuni TNBTS, terutama para satwa yang menghuni hutan Darungan di lereng Gunung Semeru. Kritisnya air di danau bisa mengancam keberadaan satwa, dan pada akhirnya mengganggu ekosistem hutan.
Mahmudin berpendapat, dengan porsi pembagian air yang baru, toh masyarakat tetap diuntungkan karena sebagian air danau juga tetap mengalir ke permukiman penduduk di bawah danau kendati secara kasat mata aliran airnya tidak kelihatan. "Memang harus sabar meyakinkan penduduk," katanya.
Ya, Mahmudin harus menguatkan mental dan menebalkan kesabaran. Ide yang ia sampaikan belum disambut baik oleh warga. Pak Tunggal, penduduk setempat, misalnya, masih keberatan bila porsi pembagian air diubah. Alasannya, penduduk setempat masih kekurangan air. Keberatan dengan alasan serupa disampaikan oleh Suyono.
Mereka mengatakan air bersih untuk kebutuhan rumah tangga saja masih kurang, apalagi untuk mengaliri kebun salak dan tanaman produksi lainnya. Mereka khawatir, bila kebun salak kekurangan air, produksi dan kualitas salak bisa merosot drastis.
Mereka mengingatkan bahwa Desa Pronojiwo merupakan sentra terbesar penghasil salak pondoh, dengan lahan seluas 650 hektare, serta cengkeh.
ABDI PURMONO
Berita Terpopuler:
Kandidat Mendagri, Ini Rekam Jejak Teras Narang
Setya Novanto Terima Susunan Kabinet Jokowi
Wassalam, Kini Tak Ada Lagi Ponsel Nokia