TEMPO.CO, Yogyakarta - Ribuan warga Yogyakarta dari berbagai elemen, baik kelompok kaprajan (abdi dalem) maupun masyarakat biasa, menggelar ritual topo bisu mubeng beteng (mengelilingi benteng tanpa bicara). Kegiatan itu dilakukan dalam rangka menyambut malam tahun baru Jawa, 1 Suro 1948, di sekitar kompleks Keraton Yogyakarta.
Acara ini dihadiri perwakilan abdi dalem keraton dari lima kabupaten/kota DIY, yang terhimpun dalam Paguyuban Abdi Dalem Kaprajan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Menjelang tengah malam, Jumat, 24 Oktober 2014, massa berbondong-bondong menuju kompleks Keraton. Sekitar 500-an warga Kecamatan Gedong Kiwo misalnya, memulai tapa bisu sekitar pukul 22.00 WIB dari sisi selatan Keraton Yogyakarta atau Jalan Bantul.
Dalam aksi tapa bisu yang mengusung bendera paguyuban Samiya Eka Sadhana itu sejumlah rohaniwan khususnya suster dari Gereja Pugeran, Yogyakarta, tampak turut serta berbaur bersama warga lain.
"Ritual jalan bisu ini memberi waktu untuk merefleksi diri sendiri, atas tindakan yang telah dilakukan, apa yang perlu diperbaiki dan dibenahi," kata Edi Widono, peserta kelompok Gedong Kiwo yang juga pengawal aksi tapa bisu itu.
Gelombang topo bisu mubeng beteng oleh warga yang lebih besar datang dari arah utara Keraton Yogyakarta. Yang melibatkan tak kurang 30 elemen yang terdiri dari 900-an lebih warga, dikoordinir Komunitas Songsong Boewono.
Tapa bisu Songsong Boewono ini lebih banyak melibatkan ikatan pelajar, mahasiswa lokal dan asing, kelompok relawan bencana, hingga kalangan profesional.
Prosesi ritual yang dipimpin Paguyuban Songsong Boewono ini lebih panjang. Karena selain menggelar kegiatan mubeng beteng, juga diawali dengan perenungan serta dan doa bersama di monumen Tugu dan dilanjutkan di Alun-alun Utara.
"Topo bisu ini juga mendoakan agar pemerintahan yang sedang berjalan mensejahterakan rakyat," kata Koordinator Lapangan Paguyuban Songsong Boewono Wawan Aki kepada Tempo.
Wawan menuturkan melalui ritual mubeng beteng yang diikuti lintas elemen, agama, kepercayaan, dan juga kelompok-kelompok itu menjadi medium baru bagi warga untuk bersatu kembali setelah sempat terpecah menjadi dua kubu saat pemilu presiden lalu. "Doa kami, seluruh tokoh dan pemimpin negeri bijak, dan ingat rakyat dengan mengutamakan persatuan," kata Wawan.
Urut-urutan tapa bisu kaprajan ini dimulai dari Cucuk lampah Sang Saka Merah Putih, Bendera Gula Kelapa, kelompok Klebet Bangun Tolak (Yogya), Klebet Mega Ngampak (Sleman), Klebet Pareanom (Kulonprogo), Klebet Pandan Binetot (Bantul), dan Klebet Podang Ngisep Sari (Gunungkidul).
PRIBADI WICAKSONO