TEMPO.CO, Jakarta - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menolak Wiranto dan Ryamizard Ryacudu menjadi kandidat menteri dalam kabinet Presiden Joko Widodo. Sebabnya, dua purnawirawan jenderal itu disebut bertanggung jawab atas pelanggaran hak asasi manusia. "Kedua nama tersebut wajib dikeluarkan dari daftar calon menteri Presiden Jokowi," kata Koordinator Kontras Haris Azhar di Jakarta, Sabtu, 25 Oktober 2014.
Menurut dia, Wiranto punya catatan buruk soal penegakan hak asasi saat Reformasi 1998. Saat itu, kata Haris, Ketua Umum Partai Hati Nurani Rakyat tersebut menjabat Panglima TNI. "Wiranto terlibat kasus Trisakti, Semanggi I dan II, serta operasi militer di Timor Leste," dia menambahkan.
Adapun Ryamizard Ryacudu, ujar Haris, secara tak langsung mendukung pelanggaran hak asasi. Mantan Kepala Staf Angkatan Darat itu, dia menambahkan, pernah mengungkapkan pernyataan yang tak menjunjung dan menghormati penegakan hak asasi. "Ryamizard juga diduga terlibat kasus pembunuhan Dortheys Hiyo Eluay di Papua pada 2003 dan menolak rekomendasi penghentian operasi militer di Aceh pada 2004."
Maka, Haris menjelaskan, Presiden Jokowi harus menjauhkan purnawirawan jenderal yang punya rekam jejak pelanggaran hak asasi agar tak duduk di kabinet. Kata dia, kabinet Presiden Jokowi jangan terbelenggu oleh politik balas budi sehingga harus memasukkan nama tersebut ke dalam kabinet. "Bila mereka dipilih, Presiden Jokowi menjauhkan keadilan bagi para korban," katanya.
Sebelumnya, Wiranto dan Ryamizard dikabarkan menjadi salah satu pembantu Presiden Jokowi selama lima tahun ke depan. Wiranto digadang menjadi Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan. Adapun Ryamizard diduga akan menjabat Menteri Pertahanan.
RAYMUNDUS RIKANG
Topik terhangat:
Pelantikan Jokowi | Koalisi Jokowi-JK | Kabinet Jokowi | Pilkada oleh DPRD
Berita terpopuler lainnya:
3 Calon Ini Lantang Menolak Jadi Menteri Jokowi
Presiden Jokowi dan Istananya yang Tak Ramah
Ini Jejak 8 Calon Baru untuk Kabinet Jokowi
Tersangka Suap Ceramahi Jokowi Soal Izin KPK