TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat energi dari ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro, memastikan tetap ada konflik kepentingan jika Rahmad Gobel menjabat Menteri Perindustrian. Pasalnya, Gobel selaku salah satu pemilik saham Churchill Mining Plc sedang memperebutkan konsesi lahan tambang di Kalimantan. "Kalau enggak ada konflik itu nonsense," katannya saat dihubungi, Sabtu, 25 Oktober 2014.
Namun, Komaidi melanjutkan, potensi konflik bisa dikurangi. Sebab, dalam memutuskan kebijakan, Kementerian Perindustrian harus berkoordinasi dengan kementerian lain, seperti Kementerian Keuangan, Perdagangan, dan Energi. "Jadi penyeimbangnya banyak," katanya.
Untuk meminimalkan peluang konflik, kata dia, media juga ikut berperan dalam membuka transparansi informasi kinerja pemerintahan. Karena itu, dia berharap Gobel mampu bekerja secara profesional.
Menteri yang berlatar belakang pengusaha diharapkan cenderung bisa bekerja lebih profesional. Meski demikian, Komaidi meminta peran lembaga yudikatif mengawasi pemerintahan agar tidak terjadi konflik kepentingan.
Pengamat energi Marwan Batubara meminta Presiden Joko Widodo membuka latar belakang para menterinya dan berani mengumumkan ke publik. Jokowi, kata dia, juga harus memastikan para menteri bebas dari konflik kepentingan saat menjalankan amanatnya. "Agar clear dan negara tidak merugi kalau nanti ada masalah."
Rahmat Gobel, 52 tahun, disebut-sebut sebagai calon Menteri Perindustrian di kabinet pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Lahir di Jakarta, 3 September 1962, Rahmat merupakan generasi kedua dari keluarga Gobel yang mengendalikan perusahaan Panasonic Gobel Group.
Selain elektronika, bisnisnya merambah ke sektor batu bara. Gobel merupakan pemegang 16,5 persen saham Churchill Mining Ltd. Perusahaan ini sedang terlibat sengketa izin tambang dengan Kabupaten Kutai Timur. Kasusnya sedang diselesaikan melalui Pengadilan Arbitrase Internasional.
Obyek sengketa adalah area konsesi seluas sekitar 35 ribu hektare di Kecamatan Busang, Muara Wahau, Telen, dan Muara Ancalong, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur. Lahan tersebut sebelumnya dikuasai oleh Grup Nusantara, yang berakhir pada 2006-2007. Setelah itu, lahan dikuasai oleh PT Ridlatama yang kemudian diakuisisi oleh Churchill.
ALI HIDAYAT
Berita Terpopuler
3 Calon Ini Lantang Menolak Jadi Menteri Jokowi
Presiden Jokowi dan Istananya yang Tak Ramah
Ini Jejak 8 Calon Baru untuk Kabinet Jokowi
Tersangka Suap Ceramahi Jokowi Soal Izin KPK
Jokowi-JK Sudah Teken Daftar Kabinet