TEMPO.CO, Yogyakarta - Bagaimana pentas kelompok musik Kuaetnika tanpa kehadiran orang nomor satunya, Djaduk Ferianto? Inilah yang terjadi pada pentas bertajuk “Sketsa Bunyi” di Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta, Rabu malam 29 Oktober 2014. Sekelompok personelnya masuk panggung sembari memainkan mainan anak tradisional berbentuk kitiran dan segera mengambil posisi di depan alat musiknya. Tanpa kata sambutan, mereka langsung memainkan reportoar pertama, Mlali.
Komposisi gubahan Benny Fuad Herawan (drumer Kuaetnika) itu diawali ritme musik santai. Namun beberapa saat kemudian, alunan berganti mendayu-dayu. Kendang dan bonang ditabuh bertalu-talu dalam iringan simbal. Mirip bunyi gamelan Bali. Mlali, dalam bahasa Bali, berarti jalan-jalan. Lepas Mlali, mereka langsung memainkan kompisisi kedua, Yin Yang. Digubah oleh Arie Senjayanto (gitaris), ada nuansa musik Cina dalam reportoar ini. Dalam pamflet pementasan kelompok bergenre word music ini, tercatat sembilan komposisi dalam konser ini.
Butet Kartaredjasa yang juga pendiri Kuaetnika, mengatakan dua tahun setelah komunitas ini berdiri pada 1996, muncul pemikiran komunitas musik ini bukan sekadar pondasi untuk menyokong seorang saja. “Kami tak ingin kawan-kawan lain menjadi kerdil yang macet tumbuh,” kata Butet dalam sambutan pementasan.
Maka, ia melanjutkan, lahirnya Sketsa Bunyi yang pertama. Kala itu, konsernya digelar di Lembaga Indonesia Perancis. Dari sana pula, muncul kelompok musik baru, Acapella Mataram. Butet berharap, dari Kuaetnika, lahir-lahir pemusik-pemusik baru yang mampu mewarnai kanvas dunia musik di Indonesia. “Bahkan lebih besar dari Djaduk,” kata kakak kandung Djaduk itu. Absennya Djaduk dalam konser Sketsa Bunyi #3 karena penggagas Ngayogjazz itu kini kebetulan sedang berada di Amerika Serikat. “Djaduk belum pulang.”
Selain menyajikan kolaborasi aneka alat musik, Sketsa Bunyi #3 juga menyuguhkan demonstrasi tunggal alat musik. Sebutlah Salaotho. Komposisi ini menampilkan permainan kendang oleh empat orang pemusik. Dinamis dan apik sekaligus diwarnai aksi kocak Sukoco yang mengocok perut. Walhasil pementasan ini memberi ruang bagi personilnya unjuk kebolehan, meski tanpa kehadiran Djaduk.
ANANG ZAKARIA