TEMPO.CO, Yogyakarta - Kurator seni rupa Mikke Susanto menilai kualitas logo baru Yogyakarta tak lebih bagus dari desain karya mahasiswa seni semester satu. “Dangkal dan tak mendalam,” kata dosen seni rupa Institut Seni Indonesia Yogyakarta itu, Sabtu malam, 1 November 2014.
Menurut dia, logo itu pun tak mencerminkan filosofi keistimewaan Yogyakarta. “Istimewanya hanya dari titik nol sampai Pasar Beringharjo,” katanya. Padahal, ia melanjutkan, keistimewaan Yogyakarta harus dimaknai lebih luas. Bahkan tak hanya istimewa bagi Yogyakarta, keistimewaan itu harus berlaku bagi budaya Indonesia. “Yogyakarta ini kan miniatur keragaman di Nusantara.”
Baca Juga:
Pemerintah DIY berencana mengganti logo untuk branding daerahnya. Logo baru dirancang oleh pakar pemasaran dan CEO MarkPlus Inc, Hermawan Kertajaya, dan langsung menuai kritik dari berbagai kalangan, di antaranya dosen desain komunikasi visual ISI Yogyakarta, Sumbo Tinarbuko. Netizen pun mengkritisi bentuk hurufnya. Mereka menilai bentuknya kabur, sehingga kata “Jogja” terbaca “Togua”atau “Jogua”.
Kedangkalan filosofi keistimewaan Yogya, kata Mikke, terbaca dari inspirasi bentuk huruf “J”. Dalam desain baru itu, bentuk huruf itu terinspirasi dari garis lurus dari Pasar Beringharjo-Alun-alun Utara-Keraton Yogyakarta dan berakhir di masjid Gede Kauman yang ada di barat alun-alun. “Kenapa tidak dari Merapi-Tugu-Parangtritis?”, kata dia mempertanyakan. Toh, ia melanjutkan, wilayah Yogyakarta pun cukup luas, “Dari Gunungkidul sampai Kuloprogo, dari Sleman sampai Bantul.”
Yang lebih lucu, kata dia, inspirasi bentuk huruf “G” yang disebut simbol semangat renaisans Yogya. “Ini dari mana asal usulnya?”. Dengan bentuk tanda panah di bagian akhirnya, ia mengatakan, bentuk huruf G dalam logo baru malah lebih mirip iklan obat kuat.
ANANG ZAKARIA