TEMPO.CO, Jakarta - Mobil Mustang Boss 429 dan seekor anak anjing beagle bernama Daisy. Hanya inilah alasan John Wick (Keanu Reeves) untuk melanjutkan hidup setelah kematian Helen, istrinya. Sampai gerombolan berandal Rusia yang dipimpin Iosef Tarasov (Alfie Allen) mencuri mobil klasik itu dan membunuh anak anjing pemberian Helen sebelum ia meninggal.
Iosef yang merupakan anak semata wayang bos mafia di New York, Viggo (Michael Nyqvyst), mengira bahwa ini adalah kejahatan biasa yang dilakukan pada orang biasa. Namun Iosef salah besar. John Wick adalah mantan pembunuh bayaran yang disegani banyak orang dari dunia hitam, termasuk ayahnya. Dan kini, sang pembunuh memburu Iosef demi misi balas dendamnya.
Premis film bertajuk John Wick ini terbilang sederhana, satu jagoan melawan satu kelompok besar demi sebuah misi. Namun eksekusinya yang apik, membuat film ini menjadi jauh dari kata sederhana.
Yang pertama, mari membahas soal plotnya. Di bagian awal, film berjalan cukup pelan dan sentimental, mengisahkan duka John Wick setelah ditinggal istrinya. Bagian ini adalah fondasi yang cukup kuat untuk latar belakang aksi balas dendam dari seorang pria yang satu-satunya alasannya untuk melanjutkan hidup dirampas olehnya. Inilah yang tak dimengerti oleh Iosef, yang berpikir bahwa yang dibunuhnya hanyalah seekor anjing.
Meski awal film berjalan lambat—dan ini juga tak terlalu lama—film ini langsung tancap gas begitu identitas John Wick terkuak. Dari sini, adegan aksi melaju nyaris tanpa henti, tanpa basa-basi. Waktu untuk menye-menye dipangkas seminim mungkin, digantikan dengan parade muntahan peluru di mana-mana.
Memang, film ini jadi terasa melaju sangat kencang, sedikit sekali jeda untuk penonton mengambil napas. Namun tampaknya memang begitulah yang ingin disampaikan oleh duo sutradara David Leitch dan Chad Stahelski dalam film perdananya ini, bahwa waktu adalah hal krusial di dunia ‘membunuh atau dibunuh’ ini.
Kedua sutradara ini, sama-sama memiliki sejarah cukup panjang bekerja sebagai stuntman, koordinator stuntman hingga koreografer pertarungan dalam film-film populer seperti Fight Club, V For Vendetta, The Bourne Legacy, The Hunger Games, juga 300. Bahkan Stahelski merupakan stuntman untuk Neo, tokoh yang diperankan Keanu Reeves dalam The Matrix.
Memiliki pengalaman panjang sebagai pihak yang bertanggung jawab atas serunya adegan laga dalam film, tampaknya membuat kedua sutradara ini memiliki visi yang jelas untuk John Wick. Hampir seluruh adegan laga ditangkap dalam gerakan kamera yang ajeg—tak banyak goyangan pada kamera yang biasa digunakan agar penonton ikut merasakan kekacauan dalam setting film. Hasilnya, penonton dapat mengikuti gerakan para pemain dengan baik.
Apalagi, koreografi pertarungan yang sebagian besar merupakan pertarungan jarak dekat, juga didesain dengan apik. Penekanan pada ‘keanggunan’ koreografi pertarungan jarak dekat ini, cukup mengingatkan pada The Raid, walau pertarungan dalam John Wick lebih didominasi penggunaan senjata api.
Permainan senjata api dalam film ini juga patut diberi jempol. Strategi menembak sasaran minimal dua kali untuk memastikan korbannya benar-benar ‘lewat’ menunjukkan ketaktisan John Wick sebagai penjagal. Begitu juga bagian mengisi ulang peluru, yang kerap diabaikan dalam film laga, menjadi bagian penting untuk membangun ketegangan film ini.
Penyisipan lagu soundtrack—yang sebagian besar merupakan lagu rock—juga mendukung tensi tinggi dalam adegan laga yang digelar. Deru drum yang menjadi latar konfrontasi pertama John Wick dengan anak buah Viggo misalnya, mengantar adrenalin cepat naik.
Di luar adegan laga dalam John Wick, hal lain yang menarik dari film ini adalah desain tentang dunia pembunuh bayaran. Bahwa mereka memiliki kode etik, zona nyaman, bahkan mata uang tersendiri.
Film John Wick didukung oleh jajaran aktor yang bermain solid. Keanu Reeves yang telah menginjak usia setengah abad, masih tampil meyakinkan sebagai mantan pembunuh bayaran yang kembali beroperasi. Ada Willem Dafoe sebagai Marcus, pembunuh bayaran yang disewa Viggo untuk melenyapkan kawan lamanya, John Wick.
Aktor Swedia, Michael Nyqvist, juga sukses membangun penokohan seorang ayah sekaligus bos mafia yang masih menyimpan rasa takut. Adapun Alfie Allen, tampak nyaman memerankan Iosef—yang sedikit banyak mirip dengan karakter Theon Greyjoy di serial Game of Thrones—anak bos yang petantang-petenteng dan haus pengakuan dari ayahnya.
RATNANING ASIH
Berita Terpopuler
Mahfud Md. Pernah Bertemu Pengelola @TrioMacan2000
Dukung Persib Vs Arema, Ridwan Kamil Buka Baju
KPK Endus Modus Baru Koruptor, Apa Saja?
Tiga Perilaku Aneh Pembunuh Dua TKI Indonesia