TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Dewan Pertimbangan Partai Golkar, Sarwono Kusumaatmadja, menyatakan partai berlambang pohon beringin tersebut pernah dua kali salah memilih ketua umum. Sikap pragmatis para petinggi partai tersebut dalam pemilihan telah terbukti gagal membawa kemenangan bagi Golkar. (Baca: Peneliti: Obyektif Saja, Ical Tak Punya Prestasi)
"Sekarang itu Golkar tak punya etika. Kalau sekarang yang menang itu yang bisa mendatangkan investor paling kuat," kata Sarwono di kawasan Menteng, Sabtu, 15 November 2014.
Ia menyatakan, pada Musyawarah Nasional 2004 di Bali, Akbar Tanjung sebagai ketua umum mendapat tepuk tangan berdiri dari semua peserta. Akbar terbukti sebagai ketua yang membawa kebangkitan Golkar dengan idealisme dan politik yang berkualitas. Akbar juga membawa Golkar ke posisi teratas perolehan suara pada pemilu langsung pertama. (Baca: Akbar Pastikan Rapimnas Golkar Tak Belok ke Munas)
Akan tetapi, Akbar harus melepas jabatannya karena pengurus Golkar lebih memilih Jusuf Kalla yang juga menjadi wakil presiden saat itu. Pengurus Golkar mulai bersikap pragmatis dengan tergiur pada kekuatan birokrasi dan jaringan pemerintah serta dana dari JK.
Setelah kekuatan kekuasaan gagal pada 2009, menurut Sarwono, pengurus Golkar beralih pada pragmatisme kekuatan logistik. Dinamika ini tak hanya menyisakan kekalahan, tetapi hengkangnya kader berkualitas dari Golkar karena tak mampu bersaing secara finansial. "Setelah mencari yang punya duit, ternyata salah juga. Kalah lagi," kata Sarwono.
Akbar menyatakan adanya kekuatan logistik sebagai penentu kemenangan di internal atau eksternal partai. Keberhasilan partai, kata dia, ditentukan sejauh mana pemimpinnya punya komitmen pada kualitas dan idealisme. "Kalau partai dipimpin dengan gaya bisnis umum, pasti akan terus turun (suaranya)," kata Akbar. (Akbar Tandjung: 400 DPD Golkar Dukung Aburizal)
Peneliti Populi Centre, Nico Harjanto, sependapat dengan menyatakan dukungan Golkar dari bawah tak lagi asli. Dukungan tersebut sebatas pada suntikan logistik yang diberikan dan ketakutan akan intervensi pengurus pusat, seperti pemecatan.
Jika bertahan seperti ini, menurut dia, Golkar akan hancur karena tak memiliki dasar dukungan yang asli dan idealis. Dukungan yang rekayasa ini sangat rentan pada kehancuran jika logistik yang diterima tak sesuai kesepakatan. "Golkar tak ada lagi etika dan kesantunan," kata Nico.
Sarwono sendiri berharap pertarungan logistik saat pemilihan ketua umum tak terjadi lagi. "Mereka bilangnya ini pertarungan logistik terakhir. Kalau seperti ini terus, hancur," katanya.
FRANSISCO ROSARIANS
Berita lainnya:
Di Mimbar Masjid, Pria Ini Pimpin Doa Tolak Ahok
Ahok Akan Dilantik, FPI: Itu di Tangan Tuhan
Unhas Geger, Guru Besar dan Mahasiswi Nyabu
Tertangkap Nyabu, Ini Pembelaan Guru Besar Unhas