TEMPO.CO, Jakarta- Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, Syamsudin Nurseha menyarankan Majelis Hakim di persidangan pelanggaran UU ITE, yang menjerat Florence Sihombing, memanggil tokoh masyarakat Yogyakarta untuk ikut memberikan kesaksian. Menurut Syamsudin, kesaksian itu berguna mengobyektifikasi dakwaan yang menilai Mahasiswa Pasca Sarjana Fakultas Hukum UGM tersebut telah menyebarkan kata-kata kebencian ke masyarakat Yogyakarta di akun Path miliknya. "Tapi, harus tokoh yang bisa dianggap merepresentasikan masyarakat Yogyakarta," kata dia di Kantor LBH Yogyakarta pada Sabtu, 15 November 2014. (Sosiolog UGM: Florence Tidak Perlu Dipenjara)
Syamsudin berpendapat majelis hakim di persidangan Florence perlu aktif menggali kebenaran materiil. Kesaksian tokoh masyarakat Yogyakarta bisa memastikan kebenaran anggapan Florence telah menebar penghinaan ke publik di Kota Gudeg atau tidak. "Tuduhan bahwa Florence menyebarkan hate speech di internet atau melanggar pasal 28 UU ITE harus diobyektifikasi," kata dia.
Sebelumnya, di pekan ini, ada dua persidangan perdana kasus pelanggaran UU ITE yang terjadi di Daerah Istimewa Yogyakarta. Pada 11 November 2014 lalu, ibu rumah tangga asal Desa Bagunjiwo, Kecamatan Kasiha, Bantul, Ervani Emi Handayani menjalani sidang perdana di Pengadilan Negeri Bantul. (LBH Yakin Ervani Tak Cermarkan Nama via Facebook)
Sehari kemudian, sidang perdana kasus Florence digelar di Pengadilan Negeri Kota Yogyakarta. (Kasus Florence Bukti Literasi Digital Masih Rendah). Sementara itu, Direktur LBH Pers Yogyakarta, Hillarius Ngaji Merro menambahkan saksi ahli bidang komunikasi internet penting hadir di dua persidangan itu. Menurut Hillarius, keterangan ahli bisa menambal kesalahan polisi yang memproses laporan pelanggaran UU ITE, ketika menangani kasus Florence dan Ervani, tanpa terlebih dulu meminta keterangan pakar di bidang komunikasi internet. "Seharusnya, tidak semua laporan bisa diproses oleh polisi kalau sebelumnya minta keterangan ahli dulu," kata dia.
Keterangan pakar komunikasi internet, menurut Hillarius bisa dipakai oleh polisi untuk memutuskan melanjutkan penanganan berkas laporan atau tidak. Dia menilai model penanganan laporan pelanggaran UU ITE, yang tidak memperhatikan unsur kebenaran materiil pengaduan, bisa mengancam kebebasan berpendapat. "Kalau setiap orang berkeluh kesah di internet, lalu dilaporkan dan kemudian serta merta bisa ditahan, akan ada ribuan orang mudah ditangkap," kata dia. (Florence Sihombing Segera Diadili)
Di tempat yang sama, Direktur Eksekutif Information, Communication and Technology (ICT) Wacth, Doni Budi Utoyo berpendapat keterangan ahli komunikasi di persidangan pelanggaran UU ITE berguna untuk memperjelas definisi pencemaran nama baik atau pernyataan kebencian di Internet. Tanpa keterangan ahli, menurut dia, seluruh jenis pernyataan yang menyinggung orang lain bisa dianggap melanggar pasal 28 atau 27 UU ITE. Dalam catatannya, sejak 2008 sampai 2014, sudah ada 71 kasus pelanggaran UU ITE.
Apalagi, dia mengeluhkan, penegakan UU ITE terkesan tebang pilih. Faktanya, menurut Dony, banyak situs bermuatan konten yang menebarkan pernyataan permusuhan ke golongan lainnya tidak pernah disentuh oleh aparat hukum. "Di Youtube pernah ada video yang menyatakan darah penganut Syiah halal malah dibiarkan," kata Doni.
ADDI MAWAHIBUN IDHOM
Berita lainnya:
Jokowi Berbisik, Xi Jinping pun Luluh
G20, Jokowi: Ikut Juga Belum, Sudah Disuruh Keluar
Ada Gempa, Jokowi Telepon Maluku-Sulut-Gorontalo
Diplomasi Blak-blakan Jokowi Jadi Perhatian Dunia
Soal Revisi UU MD3, Koalisi Prabowo Retak?