TEMPO.CO, Surabaya-- Dokter spesialis forensik Rumah Sakit Umum Daerah dr Soetomo Surabaya, Edy Suyanto, mengatakan terdapat banyak kemungkinan penyebab kematian Moch. Imron Zainuddin, 25 tahun, warga Desa Kebonagung, Kecamatan Sukodono, Kabupaten Sidoarjo, Provinsi Jawa Timur. setelah ditahan polisi, Sabtu, 1 November 2014.
Berdasarkan hasil otopsi RS Bhayangkara Sidoarjo, Imron tewas karena pankrea-titis akut yang dialaminya. Menurut Edy, sedikitnya terdapat empat penyebab kematian mendadak, yaitu gangguan pada sistem kardiovaskuler, sistem pernafasan, sistem syaraf, dan pankrea-titis.
"Pankrea-titis ini yang sangat sulit terindentifikasi," kata Ketua Divisi Hukum dan Mediasi Perhimpunan Rumah Sakit Indonesia (PERSI) Jawa Timur itu, Senin, 17 November 2014. (Baca berita sebelumnya: Komisi Hukum DPR Awasi Pengusutan Tahanan Tewas)
Pankrea-titis akut disebabkan oleh adanya reaksi dalam sistem endogen, yang berhubungan dengan kelenjar-kelenjar yang dikontrol oleh tubuh manusia. Sifatnya idiopatik alias tidak diketahui secara pasti (unpredictable). "Faktor fisik atau metabolik berupa makanan dan minuman, serta faktor psikis (kejiwaan), dua-duanya mempengaruhi," ujarnya.
Edy mencontohkan beberapa kemungkinan penyebab kematian, di antaranya korban dalam keadaan depresi berat, trauma, dan lain-lain. Perlu data-data awal yang berkaitan dengan sebelum kematian agar penyebabnya diketahui secara akurat. Seperti keluhan, riwayat penyakit, hingga urutan kejadian dari berbagai pihak. "Karena ini terkait pankreas, reaksinya sangat cepat. Bahkan dalam hitungan menit," ujarnya. (Baca: Tahanan Tewas, Pengacara Curiga Ada Rekayasa BAP)
Untuk lebam yang terdapat pada mayat Imron, Edy menyebutkan ada dua jenis lebam. Pertama ialah lebam mayat, kedua ialah lebam karena memar. Lebam mayat ialah tanda-tanda yang pasti terjadi beberapa saat setelah seseorang meninggal dunia. "Lebam mayat pasti muncul setelah kurang lebih 30 menit kematian, akibat darah mengalir ke gravitasi" kata dia.
Hal ini berbeda dibandingkan lebam karena memar seperti pukulan atau penganiayaan. Biasanya lebam seperti itu terletak pada area yang terkena trauma fisik. Sebab pembuluh darahnya terlanjur pecah di situ. "Tidak bisa mengalir menurut gravitasi layaknya lebam mayat," ujar Edy.
Buntut permasalahan kasus Imron, lanjut Edy, seharusnya dijadikan pelajaran penting baik bagi pihak kepolisian, aparat hukum, dan masyarakat luas. Berdasarkan kacamata masyarakat ahli forensik, proses otopsi atas kasus-kasus yang rawan konflik kepentingan itu sebaiknya dilakukan oleh lembaga independen dengan pengamanan khusus di luar korps kepolisian. "Proses otopsi lebih baik dilakukan di RSUD, dengan mendatangkan para dokter ahli forensik," ujarnya. (Baca juga: Tahanan Sidoarjo Tewas, Polisi Bantah Menganiaya)
ARTIKA RACHMI FARMITA
Berita Terpopuler:
Kata Romo Benny Soal Muslim AS yang Salat di Katedral
SBY Minta Kader Demokrat Loyal ke Jokowi
Pertama Kali, Muslim Amerika Jumatan di Katedral
Menteri Susi Akui Dipilih Jokowi karena Gila
Bagaimana Kubu Prabowo Hadang Ahok di DKI?